Era reformasi sudah berusia 18 tahun sejak kelahirannya. Mei 1998 menjadi tonggak bersejarah di mana rezim Orde Baru runtuh. Keruntuhan ini ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto yang kala itu sudah memimpin Indonesia lebih dari 30 tahun.
Pada 1998, catatan kelam tertulis dalam sejarah. Ribuan massa turun ke jalan untuk menggulingkan Soeharto dari kursi jabatannya. Kerusuhan terjadi di pelosok ibu kota dan menyisakan trauma untuk sejumlah warga tertentu.
Penjarahan, pemerkosaan dan tindak kriminal terjadi di mana-mana. Namun setelah Soeharto menyatakan pengunduran dirinya, situasi kembali kondusif. Kemudian, angin perubahan menjanjikan harapan kehidupan lebih baik dengan munculnya era reformasi.
Namun, setelah 18 tahun belum cukup terlihat dampak yang signifikan. Bahkan beberapa bagian masyarakat malah mengatakan tidak lebih baik dari orde baru. Tapi tidak sedikit juga yang menilai sebaliknya. Kompasianer juga memiliki pandangannya masing-masing tentang 18 tahun reformasi ini. Berikut ini adalah 5 penilaian Kompasianer tentang 18 tahun usia reformasi.
1. Mencerna 10 Reformasi di Film 9808 hingga Sekarang 18 Tahun Reformasi
Sekarang sudah tahun 2016.Sudah 6 tahun film tersebut lewat. Sudah 18 tahun era reformasi bergulir. Dan ternyata pertanyaan yang sama selalu muncul, "Sudah berhasilkah reformasi yang kita perjuangkan bertahun-tahun silam?"
Menurut Trie jika melihat dari segi aspek kesejahteraan rakyat, jurang antara kaya dan miskin semakin melebar. Padahal telah banyak program pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan dari tahun ke tahun.
Kemudian jika melihat dari segi penegakan hukum, korupsi tetap menjadi momok besar bangsa. Bahkan sekarang semakin merebak luas. Penegakan hukum belum mampu bekerja dengan maksimal.
Dari aspek HAM, sejumlah kasus pelanggaran berat HAM masih belum terselesaikan. Bahkan sepertinya tidak ada lagi keinginan untuk mengungkap. Namun perubahan luar biasa terlihat dari sisi kebebasan pers. Setelah reformasi bergulir, pers malah terlihat kebablasan. Terlihat dari media cenderung mengumbar berita propokatif.
2. Lembaga KPK Bentuk Reformasi Nyata dari Pemerintah
Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana anggotanya mendapatkan mandat dari pemerintah menjalankan substansi dari pendirian lembaga tersebut. Untuk memberantas korupsi baik itu pejabat pemerintah maupun lainnya yang tertangkap tangan dan jelas dirinya melakukan korupsi.
Seyogyanya reformasi adalah cara untuk melakukan perbaikan dari berbagai jenis keburukan yang berpengaruh pada perkembangan suatu negara. Dan dengan berdirinya KPK yang fokus pada pemberantasan korupsi, dan terus melakukan tindakan tersebut hingga beberapa petinggi harus tinggal di BUI.
Jika ada pelemahan kewenangan KPK, dan kasus korupsi bakal lari kemana. Kepada siapa yang akan menindaklanjuti kasus tersebut sebagai cara pembersihan korupsi dari tubuh pemerintah.
3. Degradasi Pasca Reformasi
Menurutnya jika dulu melihat suatu ketimpangan maka semua elemen mahasiswa akan agitasi perlawanan, namun kini, agitasi aktivis ibarat dagang obat di pasar, didengar namun tidak dibeli.
Mahasiswa yang dulunya menjadi momok yang menakutkan bagi birokrasi ataupun elit politik, kini berubah menjadi mitra setia. Kausalitas awal (sebabnya) tentu karena stimulus. Stimulus tidak hanya berupa uang, tetapi hubungan emosional maupun janji.
Mahasiswa umum (non organisasi) juga berubah wujud, metode berpikir kritis kini telah hilang. Refrensi utama mahasiswa adalah refrensi yang diberikan dosen. Tidak ada upaya kritis untuk mengkajinya.
Satria menambahkan, mahasiswa dibangunkan wadah untuk berhimpun dan tetap dalam akar partai, jadilah mahasiswa underbow partai. Jika telah menjadi milik partai, maka khitah mahasiswa bukan lagi sebagai agen kontrol kebijakan, namun menjadi humas partai tempat berafiliasinya. Banyak degradasi pasca reformasi.
4. Pasca Reformasi, Label Etnis Minoritas Harusnya Tidak Ada Lagi
Presiden Megawati kemudian mensahkan Imlek sebagai Hari Libur Nasional mulai thn. 2003 dgn Keppres No. 19/2002. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melengkapi kebahagiaan etnis Tionghoa dgn Keppres No. 12/2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, yg menegaskan Warga Tionghoa yg lahir di Indonesia adalah 'bangsa Indonesia asli".
Rusli Sucioto mencatat bahwa sensus penduduk 2010 etnis Tionghoa mencapai angka 3,7 persen dengan angka sekitar 8,8 juta jiwa. Sejauh bangsa kita melangkah harus diakui masih tersimpan rasa curiga, bisa jadi itu warisan kolonialisme dengan politik devide et impera, atau warisan Orde Baru yg menempatkan etnis Tionghoa untuk menguasai bidang perdagangan saja.
Sebagian menuduh etnis Tionghoa menganut paham chauvinisme, yaitu paham yg mengagungkan bangsa sendiri dan merendahkan bangsa lain, sehingga etnis Tionghoa terkesan eksklusif dan tidak mau berbaur. Jelas anggapan ini salah karena etnis Tionghoa sendiri menyimpan trauma karena sering menjadi sasaran jikalau ada kemarahan massa
Hingga saat ini perjuangan Reformasi masih jauh dari harapan. Angka korupsi yg masih tinggi membuat bangsa ini masih saja terpuruk. Perselisihan SARA akibat saling mencurigai masih santer terdengar untuk saling menjatuhkan. Tapi bangsa ini harus tetap melangkah, dengan semangat Reformasi yg tidak akan hilang - dan Kerusuhan Mei 1998 adalah sejarah kelam yg tidak akan terulang.
5. [Dibalik] Kegagalan Mei 98
Kompasianer RM TPA II mencatat bahwa reformasi di bidang ekonomi merupakan perubahan untuk memperbaiki tatanan ekonomi satu negara. Namun melihat 18 tahun reformasi, tingkat kemiskinan masih tetap tinggi bahkan kian bertambah. Namun terlihat ada kegagalan dalam reformasi ekonomi ini.
Ekonomi yang anjlok menjadi salah satu komponen dimana pada masa penuntutan reformasi adalah hal yang utama, bila melihat saat ini perekonomian di Indonesia masihlah terbilang menurun dan belum ada peningkatan sama sekali.
Sedangkan dalam bidang politik, kegagalan 98 terlihat terlihat dari kebebasan berpolitik di Indonesia. Kebebasan berpolitik di Indonesia memang sudah terjadi, namun tanpa kita sadari dalam kebebasan berpolitik ini, tetap ada beberapa oknum yang bermain secara curang.
Saling menjatuhkan dan pembunuhan karakter dari para calon ini, menjadi salah satu bagian kecurangan yang terjadi pada masa saat ini. Semakin canggih tekhnologi semakin “canggih” pula para timses dalam berkreativitas, tak sedikit para timses dari calon-calon ini yang membully untuk calon lainnya.
Dalam bidang hukum, kegagalan 98 terlihat dari Banyak seperti kasus-kasus yang belum terselesaikan itu seperti kasus pelanggaran HAM, korupsi yang dilakukan oleh para pejabat yang dekat dengan pemerintahan. Seperti kita lihat saja baru-baru ini kasus yang ramai di perbincangkan adalah tentang Pelaku Pemerkosaan atau sejenisnya akan di kebiri. Namun, pada kenyataannya makin dibentuk atau dibuat sebuah RUPP untuk hal tersebut makin tinggi tingkat pemerkosaan terjadi akhir-akhir ini.
Dalam bidang pendidikan juga terlihat kegagalan refomrasi 98. Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia terbilang setengah hati, dimana masih banyak daerah-daerah yang belum bisa merasakan pendidikan dengan semestinya. Terlihat dari bangunan, sumber daya guru, maupun fasilitas-fasilitas pendukung lainnya dalam membentuk penyelenggaraan pendidikan yang memadai.
--------------
Itulah beberapa pandangan Kompasianer terkait 18 tahun era reformasi yang telah berjalan. Semoga angin segar perubahan tetap akan berhembus dan Indonesia bisa menjadi lebih baik. (YUD)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H