Pendidikan di Indonesia. edukasi.kompas.com
Setiap tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ini adalah momentum yang sangat tepat untuk melihat refleksi pendidikan di Indonesia saat ini.
Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas ditetapkan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 316 Tahun 1959. Meski ditetapkan pada tahun 1959, peringatan Hardiknas secara efektif mulai dilaksanakan pada tahun 1967. Kala itu pengakuan besar atas jasa Ki Hadjar Dewantara dalam melaksanakan sistem pendidikan nasional dinyatakan oleh Presiden Soeharto.
Ki Hadjar Dewantara sesungguhnya memiliki pandangan yang berbeda dengan sistem pendidikan nasional yang kita jalankan saat ini. Saat ini kita lebih banyak mencontoh dan mengacu pada sistem pendidikan negara lain. Padahal, Ki Hadjar Dewantara dahulu menginginkan sistem pendidikan kita berakar dari budaya, kebiasaan dan norma Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Lalu apakah sistem pendidikan di Indonesia saat ini adalah salah? Belum tentu. Karena tentu saja sistem pendidikan juga harus mengikuti arus dan perkembangan zaman. Namun tetap harus berpacu pada benang merah, tujuan dan arah, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai dengan yang tertuang pada Pembukaan Undang-Undang 1945.
Pandangan-pandangan tentang pendidikan di Indonesia kemudian menjadi beragam. Banyak sekali yang menuangkan ide, gagasan serta pemikiran, termasuk Kompasianer. Dan berikut ini adalah beberapa pandangan perihal pendidikan di Indonesia yang kami kumpulkan sejak tahun lalu.
1. Kemerosotan Moral Merajalela, Kemanakah Pendidikan Karakter Selama Ini?
Tampaknya permasalahan pendidikan masih saja mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia. Jangankan fasilitas dan prasarana, pendidikan budi pekerti dan kualitas SDM masih saja kurang. Memang, apa yang disurvei di salah satu lembaga di dunia yang mengatakan, "Kualitas pendidikan Indonesia, terburuk di dunia" telah terbukti dan benar adanya.
Itulah sebuah pandangan yang dilontarkan Nahariyha Dewiwiddie pada sebuah artikel yang ia tulis setahun lalu. Ia melihat bahwa kualitas pendidikan yang buruk ini menghasilkan orang yang kerap bertindak kriminal.
Menurut Dewi, ada beberapa penyebab yang melandasi hal ini. Pertama, pembatalan kurikulum 2013 dan nasib program pendidikan karakter. Pada Kurikurum 2013, para siswa tidak hanya dituntut untuk terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran, ada penyisipan pendidikan karakter yang didasarkan oleh nilai-nilai baik dan luhur yang diwariskan nenek moyang.
Memang tepat, mengingat saat ini generasi muda Indonesia sedang berada dalam 'masa-masa' kritis karena kemerosotan moral. Namun setelah diterapkan beberapa tahun, kurikulum ini dibatalkan dan kembali ke KTSP.