Mohon tunggu...
Kompasiana
Kompasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Akun Resmi

Akun resmi untuk informasi, pengumuman, dan segala hal terkait Kompasiana. Email: kompasiana@kompasiana.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

9 Tanda Duka untuk Paris

16 Januari 2016   15:30 Diperbarui: 16 Januari 2016   15:30 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Vokalis band U2, Bono, gitaris The Edge, pemain drum Larry Mullen Jr, dan pemain bas Adam Clayton memberi penghormatan untuk korban teror bom di aula konser Bataclan, Paris, Sabtu (14/11/2015) I AFP PHOTO/FRANCK FIFE"]

[/caption]Alangkah baiknya, sebelum memulai membaca ini, sejenak kita luangkan waktu, berdoa, atas nama kemanusiaan bagi para korban teror di belahan bumi manapun.

Belum hilang ingatan duka kita tentang Paris, (7/1/2015). Saat kelompok bersenjata menyerang kantor Harian Satire Charlie Hebdo yang menewaskan 12 orang. Beberapa bulan kemudian, Sebuah bom meledak di luar Stade de France, tempat laga persahabatan antara Perancis dan Jerman dilaksanakan, Jumat (13/11/2015). Selain Boom, di saat yang sama, Paris juga diteror aksi penembakan di 6 titik.

Serangkaian serangan bom dan penembakan terjadi secara serentak di beberapa sudut Paris pada Jumat malam dan Sabtu dini hari. Serangan dimulai pada pertengahan laga sepak bola antara timnas Perancis melawan Jerman di Stadion Stade de France. Setidaknya, 153 orang tewas dalam peristiwa tersebut.

Para pelaku teror pun tewas. Sementara itu, warga Paris dilanda kepanikan, tetapi mereka bersatu berusaha mengondusifkan kotanya, salah satunya dengan gerakan via Twitter. Pemerintah setempat pun menutup fasilitas publik dan memperketat pengamanan, terutama di titik-titik masuk negara Perancis.

Banyak sekali tanggapan para Kompasianer tentang peristiwa teror Paris yang terangkum dalam topik pilihan Teror di Paris, di antaranya:

1. Terorisme dan Sepak Bola, Kesaksian dari Paris

Kompasianer Bes merupakan salah satu saksi mata saat Bom meledak di dekat Stade de France. Saat itu ia dan beberapa rekannya sedang asyik menyaksikan laga persahabatan antara Perancis dan Jerman. Tetiba bom meledak dan menghentikan pertandingan tersebut. Melalui reportasenya ini, kita dapat merasakan suasana mencekam saat kejadian, panik dan kecemasan. Dalam artikel yang kedua, berjudul "Yang Tersisa dari Aksi Terorisme di Paris (Sebuah Kesaksian)"Bes mencoba memberikan gambaran suasana pascakejadian tersebut. 

Siaga satu serta 3 hari berkabung telah dikumandangkan oleh sang pemimpin tertinggi Perancis, Presiden François Hollande, kemudian disertai janji untuk melakukan penyerangan ke markas ISIS. "Kita sedang Berperang," sebut Presiden Perancis Francois Hollande di hadapan seluruh rakyat Perancis. Bes, sekali lagi, melaporkan secara langsung suasana pascakejadian. Menurutnya, tidak ada yang berubah setelah kejadian aksi teror, aktivitas kembali normal, hanya saja malam setelah kejadian Polisi masih sedang melakukan sterilisasi. 

2. Perancis Sudah Menyadari Insiden Tersebut Akan Terjadi

"Perancis seharusnya tahu persis reaksi yang mengakibatkan rasa takut dan mencekam rakyatnya lambat laun akan menghampiri negaranya. Agak aneh rasanya Hollande atau NATO seperti panik, kaget dan shock pascaserangan tersebut. Jika pernyataan perang sudah ditahbiskan seharusnya Hollande telah mempersiapkan negaranya untuk antisipasi serangan balik dari obyek yang mereka sebut sebagai lawan perang." Demikian tulis Imam Prasetyo. 

Melalui opininya, Imam Prasetyo mencoba merunutkan peristiwa, perangai politik yang seharusnya bisa dijadikan sebagai tanda antisipasi dari sebuah peristiwa yang kemungkinan akan terjadi. Ini terlihat dari sebuah pertanyaan yang muncul di akhir tulisannya, Bukankah tidak adil rasanya jika rasa takut dari rakyat Mali diresapi dengan presisi oleh rakyat Perancis?

3. Paris dan Konstelasi Dunia Barat

Akan sangat sulit jika kita memahami teror yang terjadi di Paris, tanpa melihat kejadian-kejadian serupa, seperti Mali atau negara Timur Tengah lainnya. Seperti yang diungkapkan Rushans Novaly bahwa:  Mungkin itu pesan yang ingin disampaikan para teroris yang dengan sukses membangun opini dunia. Yang menjadi korban, warga sipil yang tak berdosa. Warga sipil yang berakhir pekan tanpa terpikir ada perang yang mengintai. Padahal ada pertempuran yang diikuti negera mereka nun jauh di belahan dunia lainnya. Logika balas dendam layaknya bara dalam sekam, mudah terbakar dan sulit padam.

4. Tragedi Paris, Memecah Kebuntuan Politik di Suriah

Sehari pasca Tragedi Paris 13/11/2015, Uni Eropa langsung menggelar pertemuan darurat di Vienna, Austria, pada Sabtu (14/11), untuk membicarakan solusi damai yang menyeluruh di Suriah. Tragedi Paris menjadi tanda pecahnya kebuntuan politik di Suriah. Semua faksi yang bertikai di Suriah dipaksa untuk maju ke meja perundingan. Amerika Serikat dan Russia yang selama ini berbeda pendapat, akhirnya sama-sama melihat adanya urgensi penyelesaian Suriah. Demikian tulis Muhammad Ridwan. Ia mencoba menjelaskan kepada kita terkait upaya politik, perdamaian dari kedua kubu yang sebelumnya berseteru. Analisisnya terhadap pernyataan Andi Hakim, seorang pengamat politik Timur Tengah yang berpandangan bahwa efek dari Tragedi Paris menjadi kelompok-kelompok yang berkepentingan di Suriah sudah mulai berpikir realistis memandang masalah-masalah yang akhir-akhir ini muncul di Suriah. 

5. Serangan Teror Paris Suara Lain dari Eropa

Sama seperti artikel di atas, ada pandangan lain tentang Tragedi Paris. Syarifuddin Abdullah, Kompasianer ini mencoba menyoroti tentang pernyataan seorang David Van Reybrouck, sejarahwan Belgia yang menulis surat terbuka kepada Presiden Perancis Francois Hollande. Syarifudin pun menulis: David Van Reybrouck menyalahkan Hollande karena menggunakan istilah “tentara teroris”. Istilah ini terdiri dari dua kata yang saling bertentangan: tentara vs teroris, dan berkesimpulan bahwa Presiden Perancis masuk dalam jebakan IS, karena merespon provokasi IS untuk berperang dengan antusias. Padahal mereka itu bukan tentara, tapi monster. Dan Anda telah menunjukkan kelemahan Anda.

6. Dampak Teror Paris bagi Muslim di Negara Minoritas Muslim

Harus kita akui, suka atau tidak, Islamophobia muncul lagi di Eropa pascakejadian di Paris. Seperti yang diuraikan Kompasianer Elde saat menetap di negara minoritas Muslim. Berikut ini kutipan dari tulisannya. Dengan adanya teror di Paris dan ditengarai salah satu dari pelaku adalah pengungsi yang menyamar menggunakan paspor Suriah, kecurigaan masyarakat lokal akan kedatangan para pengungsi ini pun tidak terelakkan dan terbukti. Kekhawatiran yang sebelumnya menjadi perdebatan bahwa arus pengungsi besar kemungkinan disusupi teroris menjadi kenyataan. Masyarakat yang sejak kehadiran pengungsi ini sudah menolak seperti mendapatkan amunisi tambahan untuk menentang kedatangan mereka. Melalui artikelnya ini, Elde berbagi info kepada kita tentang dampak domino pasca teror Paris, khususnya bagi penduduk muslim yang tinggal di daerah minoritas muslim.

7. Sutiyoso Kepala BIN Mengandalkan RT/RW untuk Menangkal Tragedi Paris

Kita sepakat bahwa setiap ada peristiwa mengenaskan di suatu negara menjadikan negara lain mulai was-was, khawatir peristiwa serupa melanda negerinya. Demikian pula dengan Indonesia. Thamrin Dahlan, dalam artikelnya menyoroti tentang kesiapan keamanan Negara dalam menyikapi aksi teror seperti yang terjadi di Paris, Perancis. Upaya apa yang telah/akan dipersiapkan Pemerintah dalam menanggulangi aksi Terorisme dan sejenisnya. Tulisnya, Pemerintah Berkuasa hendaknya menganjurkan kepada Ketua RT/RW agar menerapkan sistem pengamanan terpadu kawasannya. Peran serta itu akan semakin mencapai sasaran apabila para pejabat di tingkat ini dikumpulkan dalam satu seminar nasional per daerah kabupaten guna mendapatkan sosialisai UU Intelijen.

8. Menjawab Kegaduhan Paris Lewat Rukun Iman Berita

Melalui pengalamannya terlibat dalam sebuah media, Hilman Fajrian memberikan kisi-kisi tentang parameter dalam menilai berita. Ini terkait dengan pemberitaan mengenai Paris yang begitu bising di Media. Menurutnya, Melalui Rukun Iman Berita ini, kita dapat terbantu ketika melakukan analisis terhadap berita. Dalam artikelnya, ia menulis: Rukun Iman Berita bukanlah strategi mendesain berita agar menarik. Ia adalah parameter yang didasarkan kepada perilaku dan ketertarikan alamiah manusia. Yang alamiah itu akan tetap terjadi dengan atau tanpa berita. Di era media sosial dan user generated content seperti sekarang, berita dari content provider tak lagi dijadikan referensi utama seperti dulu.

9. Berduka untuk Paris vs Perdamaian Dunia

Era informasi seperti sekarang, apa pun begitu cepat tersebarluaskan. Peristiwa di suatu negara bisa dengan cepat sampai informasinya di negara lainnya. Persitiwa Bom Paris pun begitu. Kabar duka pun bermunculan. kita percaya, bahwa ada banyak cara seseorang dalam menyampaikan duka. Salah satunya seperti fitur yang disediakan Facebook dalam mewadahi kepedulian masyarakat akan peristiwa tersebut. Banyak sekali masyarakat yang merespons secara positif. Namun, ada pula yang berkomentar sebaliknya, lalu membanding-banding kepeduliaan seseorang tentang peristiwa teror di tempat lain. Tak pelak sosial media pun bising. Octavianus Gautama, dalam artikelnya mencoba merangkum fenomena ini dan mencoba menengahi bahwa rasa duka, sesederhana apa pun yang diberikan seseorang adalah bukti kepedulian. 

Tidaklah salah bila orang lain berduka untuk Paris. Tetapi marilah kita berhenti untuk berlomba menjadi “lebih mulia.” Dan marilah kita berhenti merendahkan dan memberikan kritik kepada orang yang sedang berduka. Demikian tulis Octavianus.

----***----

Dua, seratus, atau ribuan angka kematian karena tragedi kemanusian boleh bergulir, tetapi korban tetaplah korban. Untuk alasan apa pun, sudah sepantasnyalah kita berduka bagi nyawa yang hilang sia-sia, entah karena konstelasi politik atau persinggungan perbedaan semata.

Opini, reportase, dan argumen-argumen yang terhimpun dari para Kompasianer boleh saja terbagi menjadi keberpihakan personal yang tak lepas dari preferensi identitas masing-masing orang. Ada yang mengecam tragedi Paris, tetapi ada pula yang membanding-bandingkan dengan bobot chaos yang terjadi dalam tragedi lainnya. Tapi tentu, ini adalah proses manusia untuk lebih mengenal dan belajar berempati terhadap apa pun rupa tragedi kemanusiaan, tak hanya yang terjadi di Paris, tetapi juga di kawasan lain di bumi. Seperti yang disampaikan oleh Bhikhu Parekh, seorang penulis multikultural tersohor: biarlah perbedaan menjadi lebur, dialami, kemudian diafirmasi oleh publik. Dengan demikian, perlahan akan tumbuh masyarakat majemuk yang saling memahami. (KML)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun