Sehari pasca Tragedi Paris 13/11/2015, Uni Eropa langsung menggelar pertemuan darurat di Vienna, Austria, pada Sabtu (14/11), untuk membicarakan solusi damai yang menyeluruh di Suriah. Tragedi Paris menjadi tanda pecahnya kebuntuan politik di Suriah. Semua faksi yang bertikai di Suriah dipaksa untuk maju ke meja perundingan. Amerika Serikat dan Russia yang selama ini berbeda pendapat, akhirnya sama-sama melihat adanya urgensi penyelesaian Suriah. Demikian tulis Muhammad Ridwan. Ia mencoba menjelaskan kepada kita terkait upaya politik, perdamaian dari kedua kubu yang sebelumnya berseteru. Analisisnya terhadap pernyataan Andi Hakim, seorang pengamat politik Timur Tengah yang berpandangan bahwa efek dari Tragedi Paris menjadi kelompok-kelompok yang berkepentingan di Suriah sudah mulai berpikir realistis memandang masalah-masalah yang akhir-akhir ini muncul di Suriah.
5. Serangan Teror Paris Suara Lain dari Eropa
Sama seperti artikel di atas, ada pandangan lain tentang Tragedi Paris. Syarifuddin Abdullah, Kompasianer ini mencoba menyoroti tentang pernyataan seorang David Van Reybrouck, sejarahwan Belgia yang menulis surat terbuka kepada Presiden Perancis Francois Hollande. Syarifudin pun menulis: David Van Reybrouck menyalahkan Hollande karena menggunakan istilah “tentara teroris”. Istilah ini terdiri dari dua kata yang saling bertentangan: tentara vs teroris, dan berkesimpulan bahwa Presiden Perancis masuk dalam jebakan IS, karena merespon provokasi IS untuk berperang dengan antusias. Padahal mereka itu bukan tentara, tapi monster. Dan Anda telah menunjukkan kelemahan Anda.
6. Dampak Teror Paris bagi Muslim di Negara Minoritas Muslim
Harus kita akui, suka atau tidak, Islamophobia muncul lagi di Eropa pascakejadian di Paris. Seperti yang diuraikan Kompasianer Elde saat menetap di negara minoritas Muslim. Berikut ini kutipan dari tulisannya. Dengan adanya teror di Paris dan ditengarai salah satu dari pelaku adalah pengungsi yang menyamar menggunakan paspor Suriah, kecurigaan masyarakat lokal akan kedatangan para pengungsi ini pun tidak terelakkan dan terbukti. Kekhawatiran yang sebelumnya menjadi perdebatan bahwa arus pengungsi besar kemungkinan disusupi teroris menjadi kenyataan. Masyarakat yang sejak kehadiran pengungsi ini sudah menolak seperti mendapatkan amunisi tambahan untuk menentang kedatangan mereka. Melalui artikelnya ini, Elde berbagi info kepada kita tentang dampak domino pasca teror Paris, khususnya bagi penduduk muslim yang tinggal di daerah minoritas muslim.
7. Sutiyoso Kepala BIN Mengandalkan RT/RW untuk Menangkal Tragedi Paris
Kita sepakat bahwa setiap ada peristiwa mengenaskan di suatu negara menjadikan negara lain mulai was-was, khawatir peristiwa serupa melanda negerinya. Demikian pula dengan Indonesia. Thamrin Dahlan, dalam artikelnya menyoroti tentang kesiapan keamanan Negara dalam menyikapi aksi teror seperti yang terjadi di Paris, Perancis. Upaya apa yang telah/akan dipersiapkan Pemerintah dalam menanggulangi aksi Terorisme dan sejenisnya. Tulisnya, Pemerintah Berkuasa hendaknya menganjurkan kepada Ketua RT/RW agar menerapkan sistem pengamanan terpadu kawasannya. Peran serta itu akan semakin mencapai sasaran apabila para pejabat di tingkat ini dikumpulkan dalam satu seminar nasional per daerah kabupaten guna mendapatkan sosialisai UU Intelijen.
8. Menjawab Kegaduhan Paris Lewat Rukun Iman Berita
Melalui pengalamannya terlibat dalam sebuah media, Hilman Fajrian memberikan kisi-kisi tentang parameter dalam menilai berita. Ini terkait dengan pemberitaan mengenai Paris yang begitu bising di Media. Menurutnya, Melalui Rukun Iman Berita ini, kita dapat terbantu ketika melakukan analisis terhadap berita. Dalam artikelnya, ia menulis: Rukun Iman Berita bukanlah strategi mendesain berita agar menarik. Ia adalah parameter yang didasarkan kepada perilaku dan ketertarikan alamiah manusia. Yang alamiah itu akan tetap terjadi dengan atau tanpa berita. Di era media sosial dan user generated content seperti sekarang, berita dari content provider tak lagi dijadikan referensi utama seperti dulu.
9. Berduka untuk Paris vs Perdamaian Dunia
Era informasi seperti sekarang, apa pun begitu cepat tersebarluaskan. Peristiwa di suatu negara bisa dengan cepat sampai informasinya di negara lainnya. Persitiwa Bom Paris pun begitu. Kabar duka pun bermunculan. kita percaya, bahwa ada banyak cara seseorang dalam menyampaikan duka. Salah satunya seperti fitur yang disediakan Facebook dalam mewadahi kepedulian masyarakat akan peristiwa tersebut. Banyak sekali masyarakat yang merespons secara positif. Namun, ada pula yang berkomentar sebaliknya, lalu membanding-banding kepeduliaan seseorang tentang peristiwa teror di tempat lain. Tak pelak sosial media pun bising. Octavianus Gautama, dalam artikelnya mencoba merangkum fenomena ini dan mencoba menengahi bahwa rasa duka, sesederhana apa pun yang diberikan seseorang adalah bukti kepedulian.
Tidaklah salah bila orang lain berduka untuk Paris. Tetapi marilah kita berhenti untuk berlomba menjadi “lebih mulia.” Dan marilah kita berhenti merendahkan dan memberikan kritik kepada orang yang sedang berduka. Demikian tulis Octavianus.
----***----
Dua, seratus, atau ribuan angka kematian karena tragedi kemanusian boleh bergulir, tetapi korban tetaplah korban. Untuk alasan apa pun, sudah sepantasnyalah kita berduka bagi nyawa yang hilang sia-sia, entah karena konstelasi politik atau persinggungan perbedaan semata.
Opini, reportase, dan argumen-argumen yang terhimpun dari para Kompasianer boleh saja terbagi menjadi keberpihakan personal yang tak lepas dari preferensi identitas masing-masing orang. Ada yang mengecam tragedi Paris, tetapi ada pula yang membanding-bandingkan dengan bobot chaos yang terjadi dalam tragedi lainnya. Tapi tentu, ini adalah proses manusia untuk lebih mengenal dan belajar berempati terhadap apa pun rupa tragedi kemanusiaan, tak hanya yang terjadi di Paris, tetapi juga di kawasan lain di bumi. Seperti yang disampaikan oleh Bhikhu Parekh, seorang penulis multikultural tersohor: biarlah perbedaan menjadi lebur, dialami, kemudian diafirmasi oleh publik. Dengan demikian, perlahan akan tumbuh masyarakat majemuk yang saling memahami. (KML)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H