Mohon tunggu...
Octavianus Gautama
Octavianus Gautama Mohon Tunggu... Suami/Ayah/Pengusaha/Penulis/Pelatih/Pencetus Ide/Anak/Pembicara -

Seorang suami dengan dua anak yang masih terus belajar untuk menjaga keseimbangan antara keluarga dan karir, antara hidup dengan fokus dan hasrat untuk mengambil setiap kesempatan yang ada.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berduka untuk Paris vs Perdamaian Dunia

16 November 2015   21:44 Diperbarui: 17 November 2015   04:14 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Inilah era globalisasi. Berita-berita seputar Paris menjadi headline di semua media, bahkan di media sosial. Orang berbondong-bondong mengeluarkan pandangan mereka. Ada yang menunjukkan rasa amarah dan mengutuki para pelaku pengeboman itu. Ada pula yang tenggelam dalam duka dan menunjukkan dukungan lewat doa dan pemasangan foto bendera Perancis di profile picture mereka.

Di tengah perhatian yang diberikan kepada teror Paris, muncul sebuah respon yang berbeda yang kemudian mendapat dukungan yang tidak sedikit. Sebagian orang mulai membagikan berita tentang berbagai penderitaan yang sedang terjadi di berbagai daerah di dunia ini, bahkan di dalam negara Indonesia sendiri. Orang yang berduka untuk Beirut mengingatkan kita tentang pengeboman itu. Teman yang lain memperlihatkan kondisi konflik di Israel dan Palestina. Berbagai berita tentang penderitaan diangkat dengan harapan bahwa kedukaan kita tidak dipusatkan hanya kepada satu tempat. Teman-teman dengan hati besar ini ingin mengajak kita untuk berdoa dan berharap untuk terciptanya perdamaian di seluruh dunia.

Dan itu tidaklah salah. Dan saya yakin bahwa teman-teman yang sedang berduka untuk Parispun ingin agar perdamaian dunia tercipta. Tetapi dalam usaha mengarahkan orang kepada gambaran yang lebih luas, sesuatu terjadi. Tanpa sadar, kalimat-kalimat yang muncul seakan ingin berkata bahwa kalau kalian bisa berduka untuk Paris, maka jangan lupa donk berduka juga untuk ini dan itu. Tanpa disadar, muncul tuduhan halus yang berkata bahwa kedukaan mereka terlalu kecil, terlalu terpusat pada satu masalah kecil diantara banyak masalah besar.

Dan postingan seperti itu sangat mengusik teman-teman yang sedang berduka ini. Banyak dari mereka yang memilih untuk diam. Jewel, salah satu teman saya, memilih untuk bersuara dan menulis demikian dalam FBnya:

Coba bayangkan bila kamu sedang dalam perjalanan ke penguburan temanmu. Dan coba bayangkan bila ada seseorang yang mendatangi kamu dan berkata: “Tahukah kamu bahwa kemarin ada lima orang yang meninggal dan mereka juga dikuburkan hari ini dan mereka tidak punya warna kulit yang sama denganmu? Karena itu, kamu janganlah menarik perhatian hanya kepada penguburan temanmu. Kamu hanya peduli ketika orang yang mirip denganmu meninggal.”

Ya, itulah yang terjadi di dunia Facebook hari ini. Itulah gambaran yang muncul dari posting “saingan” terhadap berita duka untuk Paris.

Tidaklah salah bila orang lain berduka untuk Paris. Tetapi marilah kita berhenti untuk berlomba menjadi “lebih mulia.” Dan marilah kita berhenti merendahkan dan memberikan kritik kepada orang yang sedang berduka.

Teman di New Zealand ini kemudian menutup komentarnya dengan berkata bahwa buat dia, Paris adalah seorang teman dan karena itulah ia berduka.

Mungkin sebagian besar kita akan berkata bahwa bukan kemuliaanlah yang dicari, tetapi keadilan. Kita merasa tidak adil bila dunia hanya berduka untuk Paris, sedangkan banyak tempat dan banyak orang lain memerlukan perhatian yang sama. Kita merasa tidak adil ketika kekerasan terhadap wanita dan anak-anak yang terjadi setiap hari di berbagai penjuru dunia tidak mendapat tanggapan yang sama dari dunia.

Mengapa kejadian di Paris seakan mendapat tempat yang lebih special dibanding penderitaan di tempat lain? Mengapa begitu banyak dukungan yang diberikan kepada mereka sedangkan tempat lain juga sedang meneriakkan permintaan minta tolong?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun