[caption caption="Rumah makan saat puasa (Kompas.com)"][/caption]
Isu toleransi selalu jadi topik menarik di tengah keberagaman Indonesia. Tepat jelang Ramadhan lalu, MUI mengusulkan pembatasan waktu jual makanan sebagai wujud toleransi kepada umat Islam yang menjalankan ibadah puasa.
Tiap tahun saat datangnya bulan Ramadhan, bahasan toleransi warung makan dan aksi sweeping oleh sejumlah ormas muncul ke permukaan. Bagi beberapa pihak, menutup warung makan di siang hari selama bulan puasa wajib dilakukan sebagai upaya menghormati umat Islam yang tengah beribadah, tetapi bagi pihak lainnya toleransi tidak boleh sampai harus membatasi hak dan mata pencaharian orang lain.
“Batasan warung makan” selalu jadi pemicu konflik yang menodai kesucian bulan Ramadhan, terlebih lagi sering kali pemberitaan memunculkan kasus kekerasan yang diawali oleh kegiatan sweeping. Akhirnya, pertanyaan “tepatkah?” selalu jadi hal yang dilontarkan oleh banyak orang, termasuk para penulis Kompasiana.
Usai usulan MUI ini, muncul beberapa artikel yang membahas batasan waktu buka warung makan di Kompasiana. Dan di bawah ini adalah sedikit di antaranya. Artikel-artikel lainnya bisa dibaca di sini.
1. Buka Kedai Makan Bulan Ramadhan, Kuncinya Tepo Seliro
Artikel ini ditulis oleh Hendi Setiawan. Lewat artikelnya Hendi menyampaikan opininya tentang pentingnya “tepo sliro” antarumat beragama. Termasuk tepo sliro orang yang berpuasa terhadap warga nonmuslim. Lewat tulisannya penulis juga memberitakan tentang DKI Jakarta yang tak mengeluarkan larangan terhadap kedai makanan dan perbedaan aturan mengenai kedai makan yang ia rasakan berdasarkan pengalamannya berkunjung ke bumi Nangroe.
2. Bulan Puasa, Jual Makanan Dibatasi
[caption caption="Makan di siang hari (dok Imam Kodri)"]
Judul di atas adalah judul tulisan Kompasianer Imam Kodri. Sama seperti artikel Hendi Setiawan, Imam Kodri memberitakan usulan MUI untuk membatasi jam buka kedai makan. Namun, selain mengulas tentang hal tersebut, penulis juga menyisipkan berita tentang hasil kesepakatan MUI dengan Pemprov DKI.
Dari hasil rembuk bersama, pembatasan waktu buka kedai makan tidak dibatasi, melainkan kedai harus didesain agar tidak bebas terbuka.
3. Puasa Kok Paranoid
Tulisan kali ini adalah hasil rangkaian Kompasianer Muhammad Armand. Di awal tulisan, Muhammad Armand melemparkan pertanyaan, “Apa iya orang yang gak puasa akan sengaja mengganggu orang yang sedang ber-shaum ramadhan?”
Lewat artikelnya, Muhammad Armand mengungkapkan opininya bahwa “tetap dibuka”-nya warung makan selama puasa bukanlah hal yang patut dibesar-besarkan, karena tidak ada poin yuridis yang dilanggar tentang kebijakan itu.
Penulis menyampaikan pesan tersirat bahwa umat muslim yang baik tidak akan merasa “dihina” atau “tidak dihargai” hanya karena saudara-saudara nonmuslim dan yang sedang tidak berpuasa berkunjung ke warung makan. Aksi emosional akan putusan tidak dilarangnya warung berbuka hanya akan membentuk kesan bahwa agama Islam adalah agama yang egois dan tentu umat Islam tidak ingin ajaran agamanya dipandang demikian.
4. Warung Tutup selama Ramadhan, Haruskah?
[caption caption="Pasar di siang hari"]
Artikel ini ditulis oleh Amirudin Mahmud. Lewat tulisannya, Kompasianer Amirudin memaparkan bahwa isu larangan warung berbuka selalu jadi polemik bulan puasa. Ketidaksepakatan tentang larangan ini bahkan terjadi di meja-meja wakil rakyat.
Polemik di kursi kekuasaan berawal dari pernyataan Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin di Twitter. Beliau menulis,”warung-warung tak perlu dipaksa tutup. Kita harus hormati juga hak mereka yang tak berkewajiban dan tak sedang berpuasa”. Pernyataan ini ramai dibicarakan netizen hingga akhirnya beberapa pihak ormas dan partai seperti PAN, PKS, dan PPP mempersoalkan pernyataan menteri agama. Pernyataan ini hingga dibawa ke rapat komisi VIII.
Selain memaparkan konflik yang terjadi di bangku eksekutif dan legislatif, Amirudin juga memberikan beberapa saran untuk pembaca tentang bagaimana cara kita menyikapi perbedaan pendapat yang terjadi. Inti dari saran penulis adalah, apa pun pandangan kita terhadap larangan, hendaknya kita tetap menjaga kesucian bulan Ramadhan.
5. Saya Puasa, Jangan Buka Warung!
Judul di atas diambil dari artikel tulisan Kompasianer Isti. Dengan menggunakan majas ironi di judulnya, Isti menyampaikan ketidaksetujuannya akan larangan warung buka selama puasa. Menurutnya, larangan ini tidak berpengaruh terhadap khusyu atau tidaknya ibadah umat muslim. Isti menyampaikan bahwa tolok ukur keshalehan seseorang justru bisa dilihat dari perilaku sehari-hari orang tersebut. "Apa nggak malu, saat saya masih saja ribut dan mengecam warung yang buka di siang hari selama Ramadhan dengan dalil mengganggu kekhusyukan ibadah, lalu tanpa rasa bersalah, saya justru rajin bergunjing, mencela, menipu, berdusta, berlaku curang, tidak adil?" tulis Isti di artikel.
6. Di Padang Warung Tutup Tanpa Sweeping
[caption caption="Kawasan pertokoan Kota Padang yang sepi (Dizzman)"]
Artikel ini milik Kompasianer Dizzman. Lewat tulisannya Dizzman menginformasikan bahwa di Kota Padang, Bukit Tinggi nyaris seluruh warung makan tutup pada siang hari. Saking lengangnya jalan dan pertokoan, ia bahkan kesulitan untuk mencari tempat fotokopi yang buka. Lewat artikel Dizzman, kita bisa melihat gambaran lengkap bahwa keputusan pedangang untuk menutup tempat makanan mereka bergantung pada kultur dan kebutuhan daerahnya. [ELA]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H