Â
         Pertanyaan di atas menjadi topik pembicaraan khalayak beberapa minggu terakhir. Berawal dari pernyataan Menteri Agama Ri, Lukman Hakim Saifuddin di Twitter. Beliau menulis,warung-warung tak perlu dipaksa tutup. Kita harus hormati juga hak mereka yang tak berkewajiban dan tak sedang berpuasa, Kicauan pak Menteri menjadikannya dibully habis-habisan oleh kalangan pengguna twitter.Berbagai kalangan menolak termasuk ormas-omas Islam semisal Front Pembela Islam (FPI), juga Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang merupakan partai asal sang menteri. Dari gedung rakyat juga muncul reaksi. Adalah Fraksi PAN dan Fraksi PKS yang telah mempersoalkan pernyataan menteri agama tersebut dalam rapat komisi VIII pada tanggal 9 Mei 2015. Namun demikian, tidak sedikit pula yang memahami dan sependapat dengan pernyataan tersebut. Diantara yang sepaham adalah wali kota Bandung Ridwan Kamil, ia memperbolehkan warung-warung di Bandung buka saat siang hari Ramdhan, hanya jangan terlalu mencolok.(http://news.detik.com) Akhirnya pro kontra seputar persoalan ini tak dapat terelakkan lagi.
         Melihat pro-kontra permasalahan di atas, saya melihatnya sebagai berikut, Pertama, masing-masing pihak minta untuk dihargai dan dihormati. Yang berpuasa meminta dihargai oleh yang tidak berpuasa. Demikan sebaliknya. Padahal baik yang berpuasa maupun yang tidak berpuasa mempunyai kewajiban yang sama yaitu menghargai dan menghormat sikap dan prilaku orang lain. Nah, di sini menjadi sebuah ironi. Ternyata umumnya orang lebih suka menuntut hak daripada menunaikan kewajiban.
         Kedua, menguji toleransi kita semua. Toleransi bukan saja sebatas nilai-nilai luhur bangsa kita yang harus kita jaga, negara bahkan semua agama pun mengajarkannya. Kaitan dengan persoalan agama misalnya dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 2 menegaskan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu. Ini artinya masing-masing pemeluk agama harus saling menghargai dan menghormati agama yang dipeluk atau dijalani oleh orang lain karena semua agama dilindungi oleh negara. Dalam Islam sendiri toleransi sangat dianjurkan. Dalam Al Quran Allah berfirman, untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.(QS.109:06) Tidak ada paksaan dalam beragama, (QS.02:256) yang ada kewajiban saling menghargai dan menghormati.
         Ketiga, mengedepankan hikmah atau pendekatan yang positif menjadi lebih penting daripada memaksakan subtansi pada tataran praktis. Dalam Al Quran Allah berfirman, serulah kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.(QS.16:125) Ayat ini menjadi acuan kita semua bahwa dalam melaksanakan seruan atau ajakan harus dengan cara yang terbaik, bijak, dalam bahasa Al Quran disebut dengan istilah hikmah. Bila memaksa beraduh argumentasi (berdebat) maka gunakan akal sehat, logika lurus, serta cara atau metode terbaik.
         Keempat, sebagai bulan rahmat, tidak sepantasnya bulan Ramadhan dijadikan alasan untuk meruntuhkan sendi-sendi ekonomi. Warung sekecil apapun merupakan bagian kegiatan ekonomi masyarakat. Menjadi tidak adil dan jauh dari kesan rahmat (kasih sayang) bila kita menghancurkannya semata karena kegiatan puasa Ramadhan kita.
Mengambil Sikap
         Terlepas dari pro kontra tersebut, menurut hemat saya yang paling penting adalah bagaimana kita menyikapinya. Perbedaan memang hal wajar,lumrah dan tak bisa terhindarkan. Justru yang tak wajar adalah yang tak siap berbeda dan lebih cenderung memaksakan kehendak. Untuk alasan itu sebaiknya kita mengabil sikap, pertama membiasakan lebih mengutamakan melaksanakan kewajiban dalam hal apa pun daripada menuntut hak. Bagi kita yang berpuasa lebih afdhol, lebih baik dan lebih utama meningkatkan kualitas puasa kita ketimbang memaksa menutup warung orang, apalagi dengan cara-cara yang anarkis. Lebih baik menghormati orang yang tidak berpuasa apalagi ketidakpuasaannya karena alasan syar’i seperti sebab bepergian ketimbang memaksa mereka menghormati kita yang sedang berpuasa. Demikian sebaliknya, bagi mereka yang tidak berpuasa.
         Kedua, mari bersama menjaga kesucian bulan ini. Jangan kotori bulan yang penuh rahmat dan maghfirah Allah SWT dengan prilaku kotor kita. Jangan ciderai sebaik-baik bulan ini dengan tindak kekerasan, anarkis hanya gara-gara soal sepele terkait warung harus tutup atau boleh buka. Tak perlu sweeping berlebihan, ajak mereka dengan hikmah dan mauiddho hasanah seperti anjuran Al Quran dalam setiap gerakan dakwah. Kebaikan bila dilakukan dengan cara-cara yang tidak baik hanya menghasilkan sebaliknya.
         Ketiga, mempercayakan pemerintah untuk mengatur segala urusan rakyatnya, termasuk yang terkait dengan ibadah puasa. Sebagai rakyat sebaiknya kita mengikuti pemerintah. Apa yang menjadi kebijakan pemerintah semata untuk kepentingan orang banyak yang lebih besar, dan pastinya sudah melalui kajian matang, tidak asal. Berkaitan dengan ketaatan ini, Allah SWT mengaskan, Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul , dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul , jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.(QS.04:59) Sebagian besar para ahli tafsir menafsirkan ulil amri sebagai pemerintah yang sah.
           Akhirnya, sangat arif bila kita tak terjebak pada persoalan kecil, yang bisa mengoyak kebersamaan, persatuan (baca:ukhuwah) umat, dan merusak kesucian ibadah kita serta keberkahan dan kerahmatan Ramadhan itu sendiri. Lebih baik kita memfokuskan diri meningkatkan kualitas ibadah puasa. SELAMAT BERPUASA.