Meski substansi UU MD3 lebih mengatur internal para wakil rakyat, Yasonna mengatakan, pemerintah berdebat panjang dan alot untuk menjaga agar undang-undang tersebut tidak merugikan masyarakat.
 Apalagi, awalnya pemerintah hanya mengajukan Daftar Inventarisir Masalah (DIM) soal penambahan kursi pimpinan DPR.
Baca juga : Yasonna Sebut Jokowi Mungkin Tidak Akan Tandatangani UU MD3
Namun, dalam perjalananya, para wakil rakyat menambah sejumlah pasal yang saat ini menuai kontroversi.
Yasonna mengatakan, misalnya soal memberikan wewenang kepada Polri untuk menghadirkan seseorang dalam rapat DPR pada Pasal 73 UU MD3.
Saat pembahasan revisi UU MD3, pemerintah mendorong perlunya dibuat aturan teknis mengenai hal itu. Sebab, pemanggilan paksa seseorang dalam rapat DPR RI sebenarnya sudah tertuang pada UU MD3 sebelu revisi.
 "Pemanggilan paksa kan sudah ada di undang-undang yang sebelumnya, hanya tinggal mengatur ketentuan bagaimana itu dilakukan melalui peraturan Kapolri, itu saja," ujar Yasonna.
Akhirnya, diputuskan bahwa seseorang yang dijerat dengan pasal ini dibatasi pada yang merendahkan martabat lembaga DPR dan anggota DPR saat sedang melaksanakan tugas-tugas konsititusional.
Artinya, jika seorang anggota DPR tidak sedang melaksanakan tugas konstitusionalnya kemudian dilaporkan melakukan sesuatu yang bersifat merendahkan martabat, pasal ini tidak berlaku.
 "Selain itu, proses hukumnya juga diajukan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), bukan individu yang merasa direndahkan martabatnya. Ini penting supaya ada proses penyaringan terlebih dahulu," papar Yasonna.