Meski setengah hati atas disahkannya UU MD3, Yasonna memastikan, Presiden Jokowi tidak akan membatalkannya melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) atau menginisiasi revisi terbatas atas undang-undang tersebut.
"Tidak ada Perppu, tidak ada (revisi terbatas)," ujar Yasonna.
 Pemerintah memilih mendorong kelompok masyarakat sipil mengajukan judicial review UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Saya persilakan teman-teman menggugat ke MK, tapi setelah jadi UU. Jangan digugatnya sebelum jadi UU, nanti batal. Daripada kita capek-capek berdebat, lebih baik gugat saja ke MK," ujar Yasonna.
Seharusnya alasan kenegaraanÂ
 Pengamat politik Universitas Paramadina Hendri Satrio berpendapat, sah-sah saja jika Presiden Jokowi tidak mau menandatangani UU MD3.
"Tapi, kalau memang Presiden tidak mau menandatanganinya, alasannya itu harusnya alasan kenegaraan, bukannya pencitraan. Yang dinamakan pencitraan itu misalnya menolak menandatangani atas alasan pasal itu kontroversi," ujar Hendri.
"Pertanyaan saya, kenapa enggak dari awal saja menolak UU MD3 itu? Kenapa enggak dari awal diperjuangkan apa yang diinginkan pemerintah? Masukan-masukan Pak Jokowi harusnya bisa lebih awal disampaikan dalam pembahasan," lanjut dia.
Baca juga : Presiden Enggan Teken UU MD3, DPR Minta Pemerintah Tidak Ngambek
Hendri juga mengkritik kinerja Menkumhan Yasonna Laoly yang tidak melaporkan dinamika pembahasan revisi UU MD3 kepada Presiden.
Sebagai seorang pembantu Presiden, tidak semestinya Yasonna melakukan hal itu.