Sakit hati Yvone perlahan pulih. Dia seolah mempunyai harapan hidup baru dengan keluarga yang bertahun-tahun tidak bertemu. Dia pun menerima takdir bahwa ibu dan salah satu adiknya telah tiada. Begitu juga ayahnya yang meninggal di Belanda tahun 1977.
Yvone juga semakin sering berkunjung ke rumah adiknya itu, pada tahun 1989, 1990, 1991, 1992, 1995, 1998 dan Desember 2017-Januari 2018.
Pada Desember 2017 lalu, Yvone baru berkeinginan mencari rumah tempat tinggalnya dahulu, di Jalan Boton 2, Kota Magelang. Dia dibantu seorang pecinta sejarah Kota Magelang, Bagus Priyana, yang ternyata juga tinggal di kawasan tersebut.
"Berhari-hari saya berjalan ditemani Bagus, menyusuri gang-gang kampung. Semuanya sudah berubah, banyak bangunan baru, jalan-jalan sudah berbeda. Kami Bertanya-tanya sama orang sampai kami akhirnya menemukan rumah itu," kisahnya.
Kenangan masa kecilnya terus menari-menari di otaknya ketika Yvone menemukan rumahnya yang kini sudah dimiliki orang lain. Dia masih ingat dengan tangga kecil di dekat rumah itu, banyak tanaman bunga, pohon jeruk nipis, dan sebagainya.
"Saya nangis, saya kayak orang gila! ingat waktu kecil di rumah itu saya sama Oma. Dulu masih terbuat dari gedek (anyaman bambu), ada pohon jeruk nipis, banyak tanaman di situ. Lalu ada sungai kecil, ada tangga, masih kelihatan sedikit," ceritanya.
Jika boleh memilih, Yvone ingin menghabiskan sisa hidupnya di Kota Magelang. Dia merasa kampung ini lah rumahnya sebenarnya. Dia bahagia berada di lingkungan, dengan makanan dan serta aktivitas yang sederhana.
"Maunya saya habiskan masa tua di sini saja, hidup apa adanya, sederhana. Tapi enggak boleh sama anak dan cucu-cucu yang di Belanda," paparnya.
Bagus Priyana, pecinta sejarah Kota Magelang, menuturkan kisah Yvone sangat menarik perhatianya sampai dirinya bersedia membantu mencari rumah masa kecil Yvone.
Menurut Bagus, Yvone adalah saksi hidup sejarah perang kemerdekaan Indonesia, khususnya di Kota Magelang.