Mohon tunggu...
Kompas.com
Kompas.com Mohon Tunggu... Administrasi - Kompas.com

Kompas.com merupakan situs berita Indonesia terlengkap menyajikan berita politik, ekonomi, tekno, otomotif dan bola secara berimbang, akurat dan terpercaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Saya Hanya Keturunan Belanda, Mengapa Diusir dari Tanah Kelahiran Indonesia?"

9 Februari 2018   09:30 Diperbarui: 9 Februari 2018   13:45 860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Yvone (kiri) dan adiknya saat ditemui di Losmanan, Kota Magelang.

MAGELANG, KOMPAS.com - "Saya hanya keturunan Belanda. Tapi mengapa saya diusir dari tanah kelahiran saya Indonesia?"

Dadanya bergemuruh, hatinya pilu, emosinya memuncak ketika Yvone Sonja Ten Hoor-Heints mengingat peristiwa tujuh puluh enam tahun lalu. Ketika penjajah Belanda kalah dari Jepang pada masa perang kemerdekaan sekitar tahun 1942 silam.

Dia bersama orang-orang keturunan Eropa, dikumpulkan kepala desa di sebuah pendopo di Kampung Boton, Magelang Utara, Jawa Tengah.

Mereka dihadapkan pada dua pilihan. Mati atau ikut "dipulangkan" ke Eropa. Yvone dan orang-orang yang senasib itu pun terpaksa mengikuti kemauan orang-orang "pribumi", pergi ke tanah Eropa. 

Yvone dan rombongan dibawa naik kereta ke Solo, lalu naik truk ke Semarang, sampai diangkut kapal sampai Belanda. Berbulan-bulan, Yvone menempuh perjalanan yang memilukan.

(Baca juga : Soal Pribumi, Politik Identitas, dan Nurani Para Politisi)

Ia terus bertanya-tanya tentang kesalahan apa yang telah diperbuat, hingga orang-orang yang dia anggap saudara dan teman, begitu tega memisahkan raganya dengan tanah kelahiran, serta ibu, dan adik-adiknya.

"Saya lahir dan besar di sini. Salah saya apa? saya cuma turunan Belanda. Mereka pisahkan saya dengan mama, adik-adik saya juga," ungkap Yvone yang tiba-tiba tercekak menahan air mata ketika Kompas.com menemuinya di Kampung Losmenan, Kota Magelang, belum lama ini.

Yvone, wanita yang kini berusia 82 tahun itu sampai di Belanda, tanah kelahiran sang Ayah, Karel Otto Heints.

Sejak saat itu, dia tidak bisa lagi bertemu ibu kandungnya, Murni, wanita asli Dusun Glagah, Desa Banjarnegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang. Bukan cuma ibu, dia tidak bisa menemui dua adik perempuannya, Joyce Sylvia dan Yulia Christine.

"Mama saya itu dulu penjual hasil bumi di Glagah. Karena mama dan papa berpisah, saya ikut oma (nenek) tinggal di kawasan Boton, Kota Magelang. Sementara dua adik sama mama tinggal di Glagah," jelas Yvone yang masih lancar berbahasa Indonesia itu.

Bertahun-tahun dia hanya hidup berdua dengan ayahnya, hingga menikah dan berkeluarga di kawasan Rotterndam, Belanda.

Selama itu pula Yvone masih menyimpan kebencian amat mendalam dengan orang-orang yang mengaku "pribumi" itu. Bahkan, mengingat atau mendengar nama Indonesia saja dia enggan.

(Baca juga : Pribumi dan Politik Populisme)

Kesedihan Yvone tak sampai di situ. Dia masih kerap menjumpai orang-orang yang mengolok-olok dirinya sebagai warga negara penjajah.

"Kalau ketemu orang Indonesia, masih sering ada yang mengatakan kalau kami (orang Belanda) itu penjajah. Menyiksa orang Indonesia 300 tahun. Saya sedih sekali," katanya sampil menepuk dada.

Meski menyimpan dendam, sejujurnya hati kecil Yvone sangat merindukan tanah kelahirannya itu, serta sosok ibu dan dua adiknya. Sampai suatu hari, sekitar tahun 1988, suami Yvone bertemu dengan keluarga asal Kampung Paten, Kota Magelang di sebuah bengkel mobil di Belanda.

Yvone dan saudaranya ketika menemukan rumah masa kecilnya di kampung Boton, Kota Magelang, belum lama ini.
Yvone dan saudaranya ketika menemukan rumah masa kecilnya di kampung Boton, Kota Magelang, belum lama ini.
Menemukan Keluarga

Suaminya, Lucky, yang ternyata juga memilik darah Indonesia itu, berinisiatif untuk mempertemukan Yvone dengan keluarga tersebut. Yvone bahkan dibujuk suaminya agar mau bertemu mereka mengingat Yvone masih menyimpan kebencian.

"Saya dirayu, dibujuk, oleh suami saya, untuk bertemu mereka. Saya juga dipaksa supaya mau ke Indonesia (Kota Magelang) mencari rumah masa kecil saya, mama dan adik-adik, dengan pertolongan keluarga itu. Saya masih dendam saat itu, tapi akhirnya saya luluh...saya rindu rumah saya," ungkap Yvone.

Masih di tahun 1988, Yvone menguatkan diri terbang ke Indonesia menuju Kota Magelang. Dia dibantu keluarga asal Kampung Paten, mencari hingga dipertemukan dengan salah satu adiknya, Yulia Christine di Kampung Losmenan, Kota Magelang.

"Waktu bertemu (adik) serasa tidak percaya, dia ternyata masih ingat saya," ucapnya.

Sakit hati Yvone perlahan pulih. Dia seolah mempunyai harapan hidup baru dengan keluarga yang bertahun-tahun tidak bertemu. Dia pun menerima takdir bahwa ibu dan salah satu adiknya telah tiada. Begitu juga ayahnya yang meninggal di Belanda tahun 1977.

Yvone juga semakin sering berkunjung ke rumah adiknya itu, pada tahun 1989, 1990, 1991, 1992, 1995, 1998 dan Desember 2017-Januari 2018.

Yvone saat tiba di rumah masa kecilnya di Kampung Boton Kota Magelang, belum lama ini.
Yvone saat tiba di rumah masa kecilnya di Kampung Boton Kota Magelang, belum lama ini.
Rumah Masa Kecil

Pada Desember 2017 lalu, Yvone baru berkeinginan mencari rumah tempat tinggalnya dahulu, di Jalan Boton 2, Kota Magelang. Dia dibantu seorang pecinta sejarah Kota Magelang, Bagus Priyana, yang ternyata juga tinggal di kawasan tersebut.

"Berhari-hari saya berjalan ditemani Bagus, menyusuri gang-gang kampung. Semuanya sudah berubah, banyak bangunan baru, jalan-jalan sudah berbeda. Kami Bertanya-tanya sama orang sampai kami akhirnya menemukan rumah itu," kisahnya.

Kenangan masa kecilnya terus menari-menari di otaknya ketika Yvone menemukan rumahnya yang kini sudah dimiliki orang lain. Dia masih ingat dengan tangga kecil di dekat rumah itu, banyak tanaman bunga, pohon jeruk nipis, dan sebagainya.

"Saya nangis, saya kayak orang gila! ingat waktu kecil di rumah itu saya sama Oma. Dulu masih terbuat dari gedek (anyaman bambu), ada pohon jeruk nipis, banyak tanaman di situ. Lalu ada sungai kecil, ada tangga, masih kelihatan sedikit," ceritanya.

Jika boleh memilih, Yvone ingin menghabiskan sisa hidupnya di Kota Magelang. Dia merasa kampung ini lah rumahnya sebenarnya. Dia bahagia berada di lingkungan, dengan makanan dan serta aktivitas yang sederhana.

"Maunya saya habiskan masa tua di sini saja, hidup apa adanya, sederhana. Tapi enggak boleh sama anak dan cucu-cucu yang di Belanda," paparnya.

Bagus Priyana, pecinta sejarah Kota Magelang, menuturkan kisah Yvone sangat menarik perhatianya sampai dirinya bersedia membantu mencari rumah masa kecil Yvone.

Menurut Bagus, Yvone adalah saksi hidup sejarah perang kemerdekaan Indonesia, khususnya di Kota Magelang.

"Oma Yvone ini kisahnya sangat menarik, bagaimana beliau diusir dari tanah kelahirannya, terpisah dengan keluarga sampai dipertemukan lagi puluhan tahun kemudian dengan keluarganya," tutur Bagus.

Bagus pun merasa bangga sekaligus terharu bisa membantu wanita lanjut usia itu menemukan rumah masa kecilnya.

Kota Magelang memang menyimpan sejarah ketika Belanda menduduki Indonesia. Terbukti masih banyak ditemukan jejak-jejak kolonial tersebar di Kota ini, seperti rumah-rumah Belanda, bangunan irigasi, sekolah, makam, hingga bangunan penampung air raksasa, water torn, yang kini masih berfungsi dan menjadi ikon Kota Magelang. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun