Mohon tunggu...
Kompas.com
Kompas.com Mohon Tunggu... Administrasi - Kompas.com

Kompas.com merupakan situs berita Indonesia terlengkap menyajikan berita politik, ekonomi, tekno, otomotif dan bola secara berimbang, akurat dan terpercaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hapus Diskriminasi Penghayat Kepercayaan

6 Desember 2017   06:15 Diperbarui: 6 Desember 2017   15:19 1154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anggara Kusumaatmaja/KOMPAS.com Penghayat Kepercayaan

Ketiga, tuduhan sebagai aliran sesat, klenik dan perdukunan.

Keempat,seringkali terjadi hubungan yang kurang harmonis di beberapa daerah persebaran penghayat kepercayaan yang bertetangga dengan agama dakwah atau agama misionaris.

Kelima, hubungan sosial yang tersegregasi atau terasingkan akibat menguatnya politisasi agama.

"Praktik-praktik diskriminasi yang dialami oleh pemeluk agama lokal itu menjadi massif. Saya menemukan banyak praktik pemaksaan pernikahan. Para penghayat kepercayaan Sedulur Sikep di Pati, Blora, Kudus termasuk Rembang. Sebagian kelompok mereka dipaksa untuk menikah dengan cara Islam, sebagai agama yang dominan. Pemaksaannya jelas dari Disdukcapil karena menganggap agama kepercayaan itu tidak ada," kata Sudarto.

"Proses diskriminasi itu terjadi karena negara, dalam tanda kutip, hanya mengakui enam agama," ucapnya.

Secara terpisah, akademisi Hukum Tata Negara di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti menegaskan, dengan adanya keputusan MK tersebut, maka negara harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar warga penghayat kepercayaan.

Pasalnya, implementasi putusan MK di tingkat daerah belum tentu sama dengan di tingkat pusat.

"Yang paling penting adalah tindak lanjut dari putusan MK itu. Seringkali pembuat regulasi membuat peraturan yang bertentangan dengan putusan MK," ujar Bivitri dalam sebuah diskusi.

Menurut Bivitri, pemerintah harus mengomunikasikan pemenuhan hak warga penghayat kepercayaan dalam konteks pelayanan publik di seluruh tingkat, dari pusat hingga ke daerah.

Institusi pemerintahan seperti Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, institusi Polri dan pengadilan, kata Bivitri, wajib memahami putusan MK tersebut.

Ia mencontohkan, sebuah tindakan diskriminatif yang dialami oleh seorang warga penghayat Sunda Wiwitan saat berurusan di pengadilan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun