Mohon tunggu...
Kompas.com
Kompas.com Mohon Tunggu... Administrasi - Kompas.com

Kompas.com merupakan situs berita Indonesia terlengkap menyajikan berita politik, ekonomi, tekno, otomotif dan bola secara berimbang, akurat dan terpercaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hapus Diskriminasi Penghayat Kepercayaan

6 Desember 2017   06:15 Diperbarui: 6 Desember 2017   15:19 1154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Saat dulu aku sekolah sering mendapat perlakuan diskriminatif, ketika aku mengakui bahwa aku adalah Parmalim. Dulu ambil mata pelajaran agama Kristen, kan ada buku kebaktian, itu harus diwajibkan ke gereja untuk minta stempel dan tanda tangan," cerita Maradu saat berbincang dengan Kompas.com, di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.

"Ketika saya bilang saya ini Ugamo Malim, ditamparkannya buku itu ke muka saya. 'Tidak ada itu Ugamo Malim', kata dia," tambah Maradu.

Maradu mengaku, tidak keberatan jika harus mengikuti pelajaran agama yang tak diyakininya.

Namun, ia merasa tak berhak mendapat perlakuan diskriminatif sebagai Parmalim. Hukuman terpaksa ia terima karena tidak mengisi buku kebaktian dari sekolahnya.

Sulit bagi Maradu untuk memenuhi kewajiban datang ke gereja setiap hari Minggu dan meminta stempel serta tanda tangan.

Sementara aturan dari Ugamo Malim mewajibkan Maradu untuk membantu pekerjaan orangtuanya sebagai petani seharian penuh.

"Belajar agamanya tetap aku ikutin di sekolah, tapi kalau aku harus dipaksa datang ke gereja pada hari minggu, ya satu berlawanan, kedua aku harus bekerja bantu orangtua di hari Minggu. Kan tidak mungkin. Ya, aku jalani saja hukumannya," ucap pemuda yang saat ini bekerja di salah satu perusahaan swasta di Jakarta itu.

Diskriminasi 

Anggara Kusumaatmaja/KOMPAS.com Penghayat Kepercayaan
Anggara Kusumaatmaja/KOMPAS.com Penghayat Kepercayaan
Dewi Kanti Setianingsih dari komunitas masyarakat adat Karuhun Sunda Wiwitan di Cigugur, Jawa Barat, menyebut adanya praktik diskriminasi secara sistemik terhadap penghayat kepercayaan atau pemeluk agama-agama leluhur.

Persoalannya bermula dari kebijakan pengosongan kolom agama di KTP bagi warga penghayat kepercayaan. Hal itu diatur dalam UU No. 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.

Meski administrasi kependudukan warga penghayat kepercayaan tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan, namun faktanya ketentuan tersebut justru melahirkan diskriminasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun