Ia meminta masyarakat melapor ke dinas pendidikan jika menemukan praktik diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan di lingkungan sekolah.
"Untuk para penganut kepercayaan terutama para siswanya itu sudah kami layani. Memang tidak ada sanksi bagi sekolah yang melanggar. Tapi itu tegas mereka diakui. Kalau ada sekolah yang melanggar laporkan ke Kemendikbud," ujar Muhadjir.
Muhadjir menjelaskan, hak siswa penghayat kepercayaan telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 27 tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan YME pada Satuan Pendidikan.
Artinya, siswa dibolehkan mengikuti mata pelajaran agama sesuai dengan kepercayaannya dan tidak wajib mengikuti pelajaran agama yang ditentukan pihak sekolah.
Terkait materi pengajaran dan pemberian nilai, kata Muhadjir, pihak sekolah harus menyerahkan pada pimpinan komunitas penghayat kepercayaan tempat siswa itu bergabung.
Bahkan dalam peraturan tersebut menyatakan, jika dalam satu sekolah ada lebih dari separuhnya merupakan penghayat kepercayaan, pihak sekolah harus mendatangkan pengajar penghayat kepercayaan.
"Untuk pengajaran dan penilaian terhadap bahan pelajaran aliran kepercayaan itu diserahkan kepada komunitasnya. Jadi sudah tidak ada masalah," kata Muhadjir.
"Tidak ada yang sesat"
Pemerintah mulai mengurus organisasi kepercayaan sejak 1978. Namun, semakin lama jumlah organisasi kepercayaan berkurang.
Berikut transkrip wawancaraKompas.com dengan Sri Hartini soal penghayat kepercayaan.