Baru pada 2017, ada sedikit kabar baik dengan sudah diuji terbang-nya pesawat N-219, sekalipun ini pesawat yang kapasitasnya bahkan lebih kecil dibandingkan CN-235.
Karenanya, BJ Habibie pun menitipkan harapan besar pada keberlanjutan proyek pesawat R80, demi mencegah habisnya generasi dirgantara yang sudah susah payah dididik sejak era 1950-an.
Ide menggelar patungan untuk sebagian pendanaan pesawat R80 pun bagian dari upaya menerawang dunia investasi dan sekaligus pasar.
(Baca juga: BJ Habibie Ajak Masyarakat Sumbang Dana untuk Pengembangan Pesawat R80)
“Kalau kita pergi ke investor, (kemungkinan akan ditanya) apa sih program R80 itu?” tutur Desra.
Desra pun memberikan analogi, investor mana pun tak akan lagi bertanya ketika disebut Boeing yang akan mengeluarkan generasi lanjutan 737. Itu, kata dia, karena produk Boeing sudah langsung dikenali.
Kondisi saat ini, lanjut Desra, 99 persen investor bahkan publik ditengarai tak tahu soal keberadaan proyek pesawat R80. Kalaupun ada yang tahu, ujar dia, opininya belum tentu positif.
Soal penggunaan teknologi baling-baling di pesawat R80, misalnya, menurut Desra ada saja yang mempertanyakannya.
“Orang tak banyak tahu, pesawat dengan teknologi itu yang dibutuhkan Indonesia (dengan kondisi geografisnya),” sebut Desra.
Pesawat jet, papar Desra, butuh temuan baru untuk menyaingi produsen yang sudah ada. Sudah begitu, kompetisinya ketat, mahal pula.
(Baca juga: Mengapa Pesawat Rancangan BJ Habibie R80 Gunakan Mesin Baling-baling?)
Sementara itu, Indonesia adalah negara kepulauan. Kalau di China atau Amerika Serikat, ujar Desra, jarak 200 kilometer merupakan “jatah” moda transportasi mobil, lalu 400 kilometer bagian buat kereta api.