PASAR. Pada akhirnya, sebuah produk secanggih apa pun akan butuh proyeksi pasar untuk penjualannya agar layak produksi secara keekonomian.
Pesawat R80 yang sekarang sudah mulai digarap, bukan pengecualian. Sejarah perjalanan industri pesawat nasional pun tak lepas dari “terawangan” soal kebutuhan dan akhirnya pasar untuk penjualannya setelah mampu produksi sendiri.
(Baca juga bagian II dari serial tulisan ini:Habibie dan Jejak Pesawat Indonesia)
“Orang-orang kalau berpikir pesawat (Indonesia) itu Pak Habibie, salah. Kita sudah punya pesawat sejak 1948 meski itu pesawat latih,” ungkap Deputi Direktur Keuangan Urusan Pendanaan PT RAI Desra Firza Ghazfan, saat berbincang dengan Kompas.com lewat saluran telepon, akhir Agustus 2017.
Pada 1950-an, lanjut Desra, Soekarno berpandangan bahwa Indonesia sebagai negara maritim harus menguasai teknologi pesawat dan kapal. Beasiswa pun ditebar buat putra-putri terbaik bangsa untuk belajar antara lain ke Eropa, yang salah satu penerimanya adalah BJ Habibie.
Sayangnya, tak semua pelajar ini bisa pulang lagi ke Indonesia gara-gara peristiwa 30 September 1965. Dari sedikit yang bisa pulang adalah BJ Habibie.
(Baca juga bagian I dari serial tulisan ini:Patung Pancoran, Visi Dirgantara, dan Proyek R80 Habibie)
Ketika pulang ke Tanah Air, lanjut Desra, Habibie tak sekadar ingin membuat pesawat tetapi bikin industri pesawat. Ekosistem pun dirancang, melibatkan semua industri kreatif yang terkait dengan sebuah industri pesawat, laiknya menyusun puzzle.
Pada 1976, Indonesia sudah memiliki bengkel pesawat, berbekal lisensi dari CASA. Istilahnya, progressive manufacturing, yaitu untuk menguasai keterampilan membuat pesawat. Memakai pola ini hadir pesawat NC-212, meski baru sebatas perakitan. Pada 1983, barulah muncul produk buatan Indonesia, yang tak cuma merakit, yaitu CN-235.
Sebagai industri penerbangan, Indonesia juga masih terus melayani perakitan dan perawatan jenis-jenis pesawat terbang lain. Sederet helikopter juga melewati Bandung untuk proses perakitannya.
N-250 bisa dibilang sebagai karya monumental terakhir dari binar industri dirgantara nasional, itu pun mangkrak setelah lolos uji terbang karena imbas badai krisis moneter pada 1997-1998. Pupus pula kelanjutan perancangan dan pembuatan pesawat N-2130 begitu pertanggungjawaban Habibie sebagai Presiden Indonesia ditolak MPR pada 20 Oktober 1999.
Asa di pesawat R80