JAKARTA, KOMPAS.com -- Kehadiran film yang mengangkat lokalitas cerita, dialek, dan bahasa di layar lebar ibarat angin segar.
Sebut saja film Parakang, Uang Panai, serta Surau dan Silek yang percaya diri tayang di layar bioskop besar. Indonesia memang tidak sesempit ibu kota Jakarta.
Baca juga: Tembus Box Office Indonesia, Uang Panai Bukti Eksistensi Film Daerah
Puluhan tahun lalu, legenda hantu di Sulawesi Selatan, parakang, hanya dikisahkan dari mulut ke mulut di kampung- kampung.
Sosok hantu itu diceritakan demi "menakut-nakuti" anak-anak agar tidak bermain saat petang. Kini, parakang beraksi di bioskop di sejumlah kota.
Film berjudul Parakang (Manusia Jadi-Jadian) yang mulai tayang pertengahan Mei itu garapan sineas Makassar. Hingga 2 Juni, film itu masih diputar di Makassar.
Kisahnya tentang perempuan Bugis-Makassar, Linda (Firda Noweldin), yang harus menerima kenyataan dirinya keturunan parakang.
Dalam perjalanannya, Linda berkonflik dengan diri, kekasih, teman kerja, keluarga, dan warga kampungnya.
Parakang yang digambarkan berkuku panjang, lidah menjulur, dan pakaian kehitaman mengincar ibu hamil dan usus manusia.
Untuk mengelabui warga, parakang berganti wujud mulai dari pohon pisang, kucing, hingga manusia lainnya.
Meski sosok parakang kerap muncul sepanjang film sehingga rasa penasaran penonton tidak lagi menggebu, suara yang mengagetkan masih menjaga suasana seram.
Kualitas gambar dan akting beberapa pemain masih terlihat agak kaku di sejumlah adegan.
"Banyak pemeran yang baru kali ini main film. Ini eksperimen," ujar sutradara Parakang, Abdul Rodjak, Kamis (1/6/2017).
Terlepas dari kekurangannya, film produksi Artalenta Media Sinema dengan 786 Production itu berani memberi warna baru dalam genre horor layar lebar Tanah Air. Selain hantunya, gambar, dialek, dan bahasa yang dihadirkan juga asal Bugis-Makassar.
Beberapa kali lanskap Kota Daeng yang padat bangunan beton terekam drone. Dialek yang terdengar "lucu" khas daerah setempat juga mengundang tawa penonton.
Kosakata setempat, seperti tabe' (permisi), kasi'na (mengasihani), dan boya (mencari), beberapa kali muncul.
Bahkan, film berdurasi 80 menit ini menyajikan teks bahasa Indonesia dan aksara lontara, khas Sulawesi Selatan.
"Film Jepang dan Korea selalu menyuguhkan aksara daerahnya. Mengapa kita tidak? Kami juga ingin mengingatkan pemerintah daerah agar tidak lupa dengan budayanya," ujar Rodjak yang baru kali ini menyutradarai film layar lebar.
Lokalitas itu, bagi dia, merupakan nilai tambah untuk bisa tayang di bioskop. Soal film horor, Rodjak mengikuti selera pasar Indonesia yang gandrung film genre itu.
Apalagi, hantu lokal dari sejumlah daerah, seperti leak atau genderuwo, sudah lebih dulu "gentayangan" di layar lebar.
Parakang bukan yang pertama. Agustus tahun lalu, film Bugis-Makassar, Uang Panai', lebih dulu menyapa penonton. Film yang 99 persen dimainkan dan dikerjakan oleh sineas lokal itu juga percaya diri menampilkan logat daerah.
Baca juga: Cerita di Balik Layar Kesuksesan Film Uang Panai
Film garapan sutradara Halim Gania Safia (33) itu berkisah tentang seorang lelaki Makassar, Ancha (Ikram Noer), jatuh bangun mengumpulkan uang panai' untuk meminang kekasihnya, Risna (Nurfadhillah).
Film itu mencoba mengkritisi budaya panai' (mahar) dalam pernikahan Bugis-Makassar yang dinilai memberatkan. Soalnya, dibutuhkan uang panai' yang tidak sedikit-bisa lebih dari Rp 100 juta-untuk meminang seorang perempuan.
Film dengan anggaran Rp 1 miliar itu di luar dugaan menggaet lebih dari 530.000 penonton. Menurut Amril Nuryan (44), produser Uang Panai', orang Bugis-Makassar di daerah, juga yang merantau di kota lain, menjadi sasaran film itu.
Baca juga: Bintang Uang Panai Sempat Kurang Pede Akting Bareng Artis Senior
"Surau dan Silek"
Surau dan Silek yang diproduksi Mahakarya Pictures memilih tradisi hidup di surau dan makna silat khas Minang untuk diangkat ke layar lebar.
"Surau itu poros kehidupan orang Minang. Pada masa lalu, tokoh-tokoh besar Indonesia, seperti Agus Salim dan Hatta, dibesarkan dalam budaya surau. Begitu juga silek atau silat yang tidak hanya soal tarung dan jadi jagoan, tetapi juga soal pengendalian diri," ujar produser Surau dan Silek Dendy Reynando.
Surau dan Silek berkisah tentang Adil (Muhammad Razi), Dayat (Bima Jousant), dan Kurip (Bintang Khairafi) yang menyukai silat walau awalnya dengan motivasi keliru.
Baca juga: Surau dan Silek Angkat Budaya Minangkabau yang Mulai Terkikis
Sampai suatu saat, guru mereka yang tak seberapa jago harus merantau ke kota lain. Ketiganya lalu mencari guru baru.
Apalagi, Adil ingin memenangi kompetisi melawan musuh bebuyutannya, Hardi (F Barry Cheln). Dengan bantuan Rani (Randu Arini), ketiganya diperkenalkan dengan pensiunan dosen yang baru pulang ke kampung, Johar (Yusril Katil).
Bersama Johar yang jago silat, mereka belajar arti silat sesungguhnya dalam tradisi Minang. Drama berujung tanding silat, gambar indah, alur yang rapi, serta akting alami ketiga bocah menjadikan Surau dan Silek tontonan edukatif menyenangkan.
Rasa Minang hadir tak hanya dari tema dan lokasi, tetapi juga penggunaan bahasa Minang bercampur Indonesia dengan subtitle Inggris (film itu akan didistribusikan dan diputar di sejumlah bioskop di Australia, menyasar komunitas orang Indonesia dan warga Australia yang belajar bahasa dan budaya Indonesia).
Lima anak yang menjadi pemeran utama juga berasal dari Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Sekitar 80 persen merupakan kru lokal.
Dendy mengatakan, Surau dan Silek menyasar utamanya kaum Minang, tetapi film digarap dengan kesadaran agar dapat pula dinikmati masyarakat luas, termasuk non-Muslim.
Itu tecermin dari nilai-nilai universal yang disajikan, seperti persahabatan, pengendalian diri, dan penghargaan terhadap perbuatan baik.
Dari sisi bisnis, kerja mereka pun terbayar. Pada minggu pertama rilis di Padang, film itu hanya mendapat jatah satu layar.
Tiket pun segera tiket habis terjual. Banyak penonton dari kota-kota lain, yang bahkan berjarak 100 km dari Padang, terpaksa pulang karena tidak mendapat tiket. Layar kemudian ditambah di Padang.
Hingga pekan lalu, film itu masih bertahan tayang di Padang sejak rilis pada 27 April. Di Indonesia, Surau dan Silek tayang berkisar 11-15 layar dengan total penonton sedikitnya 80.000 orang.
Baca juga: Surau dan Silek, Film Laga Perdana Gilang Dirga
Menonton Indonesia
Kehadiran film-film tersebut memberi warna berbeda dan memperkaya lanskap film Indonesia yang berlimpah tema romantisisme, komedi, dan horor dengan latar kehidupan masyarakat urban di kota besar, seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung.
"Contohnya, semakin kaya bahasa atau logat di film, semakin kelihatan Indonesia," kata Amril Nuryan (44), produser Uang Panai.
Menurut dia, sudah lama penonton hanya disajikan bahasa Jawa atau logat Batak. Padahal, ada beragam bahasa ibu. Komentar senada diungkapkan Dendy.
"Film Surau dan Silek ini persembahan dari Minang untuk Indonesia," katanya.
Nah, seperti dituliskan Garin Nugroho dan Dyna Herlina dalam Film Indonesia (2015), film dengan berbagai perspektif dan latar belakang merupakan daya hidup sinema Indonesia.
Namun, perlu kebijakan untuk menumbuhkan industri film daerah. Jangan sampai geliat film asal daerah yang berkembang dari komunitas film daerah sulit bersinar. Dan, layar lebar hanya menayangkan itu-itu saja. (ABDULLAH FIKRI ASHRI/INDIRA PERMANASARI)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Juni 2017, di halaman 26 dengan judul "Menonton Indonesia dari Layar Lebar".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H