Rasa Minang hadir tak hanya dari tema dan lokasi, tetapi juga penggunaan bahasa Minang bercampur Indonesia dengan subtitle Inggris (film itu akan didistribusikan dan diputar di sejumlah bioskop di Australia, menyasar komunitas orang Indonesia dan warga Australia yang belajar bahasa dan budaya Indonesia).
Lima anak yang menjadi pemeran utama juga berasal dari Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Sekitar 80 persen merupakan kru lokal.
Dendy mengatakan, Surau dan Silek menyasar utamanya kaum Minang, tetapi film digarap dengan kesadaran agar dapat pula dinikmati masyarakat luas, termasuk non-Muslim.
Itu tecermin dari nilai-nilai universal yang disajikan, seperti persahabatan, pengendalian diri, dan penghargaan terhadap perbuatan baik.
Dari sisi bisnis, kerja mereka pun terbayar. Pada minggu pertama rilis di Padang, film itu hanya mendapat jatah satu layar.
Tiket pun segera tiket habis terjual. Banyak penonton dari kota-kota lain, yang bahkan berjarak 100 km dari Padang, terpaksa pulang karena tidak mendapat tiket. Layar kemudian ditambah di Padang.
Hingga pekan lalu, film itu masih bertahan tayang di Padang sejak rilis pada 27 April. Di Indonesia, Surau dan Silek tayang berkisar 11-15 layar dengan total penonton sedikitnya 80.000 orang.
Baca juga: Surau dan Silek, Film Laga Perdana Gilang Dirga
Menonton Indonesia
Kehadiran film-film tersebut memberi warna berbeda dan memperkaya lanskap film Indonesia yang berlimpah tema romantisisme, komedi, dan horor dengan latar kehidupan masyarakat urban di kota besar, seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung.
"Contohnya, semakin kaya bahasa atau logat di film, semakin kelihatan Indonesia," kata Amril Nuryan (44), produser Uang Panai.
Menurut dia, sudah lama penonton hanya disajikan bahasa Jawa atau logat Batak. Padahal, ada beragam bahasa ibu. Komentar senada diungkapkan Dendy.