Kualitas gambar dan akting beberapa pemain masih terlihat agak kaku di sejumlah adegan.
"Banyak pemeran yang baru kali ini main film. Ini eksperimen," ujar sutradara Parakang, Abdul Rodjak, Kamis (1/6/2017).
Terlepas dari kekurangannya, film produksi Artalenta Media Sinema dengan 786 Production itu berani memberi warna baru dalam genre horor layar lebar Tanah Air. Selain hantunya, gambar, dialek, dan bahasa yang dihadirkan juga asal Bugis-Makassar.
Beberapa kali lanskap Kota Daeng yang padat bangunan beton terekam drone. Dialek yang terdengar "lucu" khas daerah setempat juga mengundang tawa penonton.
Kosakata setempat, seperti tabe' (permisi), kasi'na (mengasihani), dan boya (mencari), beberapa kali muncul.
Bahkan, film berdurasi 80 menit ini menyajikan teks bahasa Indonesia dan aksara lontara, khas Sulawesi Selatan.
"Film Jepang dan Korea selalu menyuguhkan aksara daerahnya. Mengapa kita tidak? Kami juga ingin mengingatkan pemerintah daerah agar tidak lupa dengan budayanya," ujar Rodjak yang baru kali ini menyutradarai film layar lebar.
Lokalitas itu, bagi dia, merupakan nilai tambah untuk bisa tayang di bioskop. Soal film horor, Rodjak mengikuti selera pasar Indonesia yang gandrung film genre itu.
Apalagi, hantu lokal dari sejumlah daerah, seperti leak atau genderuwo, sudah lebih dulu "gentayangan" di layar lebar.
Parakang bukan yang pertama. Agustus tahun lalu, film Bugis-Makassar, Uang Panai', lebih dulu menyapa penonton. Film yang 99 persen dimainkan dan dikerjakan oleh sineas lokal itu juga percaya diri menampilkan logat daerah.
Baca juga: Cerita di Balik Layar Kesuksesan Film Uang Panai