Mantan pelatih tim nasional Yunani itu mengubah tim kandidat terdegradasi pada musim sebelumnya menjadi laiknya rubah yang pintar, gesit, dan pemberani.
Leicester meraih gelar juara Liga Inggris setelah tampil luar biasa lantaran hanya tiga kali tersentuh kekalahan. Melawan sejumlah klub besar, kecuali Liverpool dan Arsenal, pasukan Ranieri tampil sebagai hewan pemangsa.
Pada akhir musim 2015-2016, publik sepak bola dunia pun terkagum-kagum atas pencapaian Ranieri. Untuk kali pertama sepanjang kariernya, pelatih berjulukan Mr Runner-up itu bisa mempersembahkan trofi juara liga.
Raja baru pun lahir di Tanah Inggris, bukan dari klub-klub golongan "bangsawan" seperti Manchester City, Chelsea, Arsenal, Manchester United, bahkan Liverpool, melainkan dari kota yang didirikan oleh Raja Leir.
Richard III
Dua bulan sebelum Leicester sukses menjadi "Raja Premier League", BBC mengait-ngaitkan Ranieri dengan Richard III, Raja Inggris antara 1483 dan 1485—dikisahkan Shakespeare dalam karyanya dengan judul serupa. Dia meninggal dunia dalam Pertempuran Bosworth, lalu dimakamkan di Leicester.
"Richard III merupakan pemimpin yang menginspirasi," tulis Dr Phil Stone, sejarawan yang punya ketertarikan khusus terhadap kiprah Richard III.
"Dia menjadi sangat populer karena begitu perhatian. Bahkan, dia selalu menyediakan bantuan medis maupun spiritual bagi pasukannya," tuturnya mengisahkan.
Ranieri pun demikian. Apabila Richard III dikenal sebagai diktator dan kata yang diucapkannya sebagai hukum negara, Ranieri cenderung bersifat ramah dan lucu. Sejumlah wartawan bahkan menjulukinya badut.
"Claudio itu lucu dan bisa menghadirkan tawa. Di bawah dia, Leicester akan menjadi klub olahraga paling hebat yang pernah dikisahkan," kata Ian Stringer, koresponden BBC Leicester pada Maret 2016.
Sejumlah anggapan "nakal" pun muncul. Mungkinkah Raja Richard III akan bisa memenangi Pertempuran Bosworth apabila memiliki karisma dan kepemimpinan seperti Ranieri?