Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Hantu Perempuan Berwajah Rata

27 Oktober 2024   22:38 Diperbarui: 28 Oktober 2024   06:58 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hantu Perempuan Berwajah Rata (sumber: ghostlyactivities.com, diolah pribadi)

"Jangan biarkan orang mati kesepian, kalau tidak mau mati kesepian!" 

Itu omelan Mama kepada Asiong yang dilayangkan setiap tahun di waktu yang sama, antara pertengahan maret hingga awal April. Alasannya? Sudah lebih dari dua dasawarsa, anaknya itu tidak pernah lagi menginjak perkuburan China.

Apakah Asiong peduli? Setidaknya, kakaknya yang bernama Akuang peduli.

Saban tahun, hatinya selalu miris mendengarkan omelan Mama. Untuk itu juga lah setiap tahunnya ia selalu mendorong Asiong untuk menuruti nasihat sang Mama. 

Sebagai anak tertua, Akuang merasa punya kewajiban untuk membahagiakan ibunya. Tentunya bukan tanpa alasan. Ia berpegang teguh kepada prinsip Xiao, yang berarti kesalehan berbakti kepada orangtua. 

Adapun festival Chengbeng yang dirayakan oleh orang-orang Tionghoa merupakan perayaan kedua terpenting setelah Imlek. Pada saat itu, para keluarga akan melakukan ziarah kubur, membersihkan makam, sekaligus menghormati keluarga yang sudah mendiang. 

Itulah mengapa perayaan ini penting, sebagai tanda bakti kepada para leluhur. Setidaknya, ini menurut ajaran Konfusius.

**

Akuang selalu heran. mengapa Asiong selalu menangis setiap kali ia menyebut kata kuburan China di hadapan adiknya itu. Jika sudah demikian, Asiong akan mulai meracau tentang sosok perempuan iblis yang selalu ingin menariknya masuk ke dalam kubur. 

Akuang masih ingat kejadian itu. Saat adiknya masih berusia 10 tahun. Saat anggota keluarganya sedang sibuk-sibuknya mengatur barang sembahyangan, Asiong berkeliaran seorang diri, melangkah di antara bongpay, dan tanah gembur yang masih basah. Mungkin saking asyiknya bermain gim, ia tidak menyadari jika ada lubang menganga di hadapannya.

Alhasil, ia pun terjatuh ke dalam lubang yang tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu dalam itu. Namun, anehnya Asiong merasa terjebak di dalamnya lama sekali. Itulah yang ia ungkapkan di depan Akuang, saat kakaknya itu  memanggilnya karena acara sembahyang puncak sudah dimulai.

Lanjut, menurut Asiong, ia merasa terjebak di tengah hutan nir-cahaya. Satu-satunya penerangan berasal dari bola-bola astral yang berseliweran di sekitarnya -- Roh dari para manusia yang belum menemukan tempatnya.

Di tengah kepanikan, Asiong melihat sesosok perempuan berbaju putih, bersinar, laksana bulan di malam hari. Walaupun dandanannya seperti malaikat, tetapi auranya mencekam. Sosok itu selalu menutup wajah dengan kedua belah tangannya yang menyerupai tengkorak. 

Asiong tidak berani mendekat, tetapi ia juga tidak kuasa melepaskan diri dari sosok menyeramkan yang datang melekat. Lalu, dalam jarak se-embusan napas, perempuan itu membuka kedua tangannya. 

Itulah pengalaman mengerikan yang pernah dialami Asiong. Menurutnya, wajah perempuan itu masih menghantuinya hingga saat ini.

**

"Wajahnya seperti apa, sih?" tanya Akuang kepada Asiong yang terduduk di sudut kamar. Ia terlihat bagaikan seorang anak kecil yang baru saja dimarahi. Asiong tidak menjawab. Ia menggeleng keras sambil mengatup bibirnya rapat. 

"Dia tidak punya wajah!" teriak Asiong. "Wajahnya Rata. Tidak ada mata, tidak ada alis, hidung, dan mulut. Semuanya tidak ada!" teriaknya lagi.

Akuang menghela napas. Jawaban Asiong itu bukanlah kali pertama ia dengar. Setiap kali ia bertanya tentang wajah perempuan itu, jawabannya selalu sama.

"Kamu sudah besar, tidak seharusnya kamu takut sama hantu lagi," tangkas Akuang sambil garuk-garuk kepala. Matanya menatap nanar, bingung atas perubahan sikap adiknya yang tiba-tiba itu. 

"Tinggalkan saja adikmu! Biar saja. Dia sudah jadi hantu!" Teriakan ibu dari luar kamar memecah keheningan. 

"Aku kasih kamu satu kali kesempatan lagi. Kamu benar-benar tidak mau ikut Chengbeng-an?" Ancaman dilayangkan, Akuang benar-benar marah. Ia merasa gerah karena adiknya itu benar-benar keras kepala.

Asiong masih bergeming, meringkuk di pojok ruangan dengan wajah tertunduk sambil memangku kedua lututnya.

"Jika kamu masih melawan perintah Mama, jangan salahkan aku kalau kamu benar-benar jadi hantu!" teriak Akuang bersiap meninggalkan kamar adiknya itu.

Asiong balas berteriak. Tidak kalah keras,"Jangan sampai kamu masuk ke dalam lubang. Jangan sampai kamu ketemu dengan perempuan iblis itu! Kalau tidak mau bertukar nasib denganku!"  

**

Festival Chenbeng pada tahun ini berlangsung khidmat dan meriah. Sesajian tersusun rapi di atas meja-meja persembahan, asap mengepul dari dupa-dupa yang tertancap pada tempatnya. Canda tawa dari sanak saudara mengisi areal pemakaman. Suasana ceria terpancar dari wajah para keluarga yang berkumpul di hari nan sakral ini.

Kecuali Akuang.

Ia mencoba mereka-reka kejadian 20 tahun silam. Mencoba bernapak-tilas menyusuri kejadian yang membuat Asiong trauma. Ia megedarkan pandangan dan tatapannya terhenti pada sebuah pohon tanjung yang berdaun rimbun, sekitar 20 meter di sebelah utara bongpay Engkong. 

Di tempat itu, seharusnya ada lubang, tempatnya menemukan Asiong yang terjerembab, berteriak-teriak ketakutan.

Namun, suasana areal pemakaman sudah banyak berubah. Daerah yang seharusnya masih sepi 20 tahun lalu, kini telah dipenuhi oleh bongpay baru. Meskipun begitu, Akuang masih berjalan menyusuri daerah sekitar itu.

Langkahnya terhenti di sebuah titik yang ia ingat sebagai tempat ia menemukan Asiong. Lokasinya berada sekitar lima meter di sebelah barat pohon tanjung. Dengan teliti, matanya menyusuri tanah, mencari-cari sebuah lubang atau tanah galian.

Namun, percuma. Tidak ada lubang, yang ada hanya parit pembatas yang sudah dibeton. Tanah kuburan di zaman sekarang pun sudah menjadi tanah yang paling mahal. Tidak heran jika tidak ada lagi tanah yang terbengkalai.

Gundah, Akuang melangkah pergi, menuju ke bongpay Engkong, untuk berkumpul kembali bersama keluarga besar. Namun, sebelum ia balik badan, matanya menangkap sebuah tanah ceruk. Letaknya berada di antara dua tanah kapling kuburan, terlihat mirip parit pembatas. Tidak heran jika ia tidak melihatnya tadi.

Jantung Akuang berdebar. Matanya terbelalak ketika mengingat kejadian 20 tahun lalu. Asiong terjerembab sambil berteriak-teriak histeris. 

Akuang menguatkan hatinya. Sebentar lagi ia akan melakukan hal yang sama dengan adiknya 20 tahun lalu. Konyol, tetapi ia merasa perlu untuk melakukan itu. Untuk membuktikan kepada adiknya bahwa trauma-nya hanyalah ilusi yang tidak terbukti.

Dengan perasaan gamang, Akuang melangkah perlahan. Ia termenung sesaat di depan lubang. Lalu, perlahan kaki kiri ia langkahkan. Disusuli dengan kaki kanannya, kini seluruh tubuhnya sudah berada di dalam lubang. Berdiri diam sambil menatap ke sekelilingnya. Menunggu sambutan dari seorang perempuan yang konon berwajah rata.

Beberapa detik berlalu, Akuang menggigit bibirnya. Matanya menatap lekat pada jarum detik yang berjalan perlahan, hingga ujungnya melewati angka 12. Semenit waktu telah berlalu, Akuang mengangkat kepalanya, dan sekali lagi mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Tidak ada perubahan. Tidak ada hutan, tidak ada bola-bola astral, dan tidak ada hantu perempuan berwajah rata.

"Hei, ke mana saja kamu? Ayo cepat. Acara sembahyang sudah mulai!" Sebuah suara mengagetkan dirinya. 

Refleks, Akuang membalik badannya dan berteriak keras. "Iya, sebentar lagi. Aku sedang ..."

Akuang terperenyak. Suara itu bukan hanya suara yang ia kenal. Namun, juga wajah yang sudah tidak asing lagi. Sosok itu berdiri di pinggir lubang, menatapnya tajam. "Lho, bukannya kamu di rumah, Siong?" tanya Akuang keheranan. 

Bukannya menjawab, Asiong justru balik badan dan berjalan menuju keramaian.  Akuang mengikutinya dari belakang. Dari kejauhan ia melihat ibunya sedang melambaikan tangan. Para keluarga sudah duduk bersila sambil memegang dupa. Acara sembahyang puncak sebentar lagi akan dimulai.

Akuang mempercepat langkahnya. Ia melihat wajah sang Ibunda yang memerah, memarahi Asiong, "Apa yang kubilang tentang Akuang? Dia sudah jadi hantu sejak ia jatuh di lubang sana 20 tahun lalu. Dan, kamu masih saja menganggapnya ada!"   

Mata Akuang melebar, ia merasakan otot-otot di wajahnya menegang. Ia tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengarkan, tetapi ia harus percaya dengan apa yang tersaji di hadapannnya. 

Seorang perempuan berwajah rata menatapnya lekat-lekat. Akuang bergidik, ia tidak bisa lagi bergerak. Mulutnya terbuka, tetapi tidak ada suara yang terdengar.

Kecuali sebuah bisikan yang bergema di telinganya. Bisikan dari Asiong, adiknya. "Jangan sampai kamu masuk ke dalam lubang. Jangan sampai kamu ketemu dengan perempuan iblis itu! Kalau tidak mau bertukar nasib denganku!"

**

Acek Rudy for Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun