Alhasil, ia pun terjatuh ke dalam lubang yang tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu dalam itu. Namun, anehnya Asiong merasa terjebak di dalamnya lama sekali. Itulah yang ia ungkapkan di depan Akuang, saat kakaknya itu  memanggilnya karena acara sembahyang puncak sudah dimulai.
Lanjut, menurut Asiong, ia merasa terjebak di tengah hutan nir-cahaya. Satu-satunya penerangan berasal dari bola-bola astral yang berseliweran di sekitarnya -- Roh dari para manusia yang belum menemukan tempatnya.
Di tengah kepanikan, Asiong melihat sesosok perempuan berbaju putih, bersinar, laksana bulan di malam hari. Walaupun dandanannya seperti malaikat, tetapi auranya mencekam. Sosok itu selalu menutup wajah dengan kedua belah tangannya yang menyerupai tengkorak.Â
Asiong tidak berani mendekat, tetapi ia juga tidak kuasa melepaskan diri dari sosok menyeramkan yang datang melekat. Lalu, dalam jarak se-embusan napas, perempuan itu membuka kedua tangannya.Â
Itulah pengalaman mengerikan yang pernah dialami Asiong. Menurutnya, wajah perempuan itu masih menghantuinya hingga saat ini.
**
"Wajahnya seperti apa, sih?" tanya Akuang kepada Asiong yang terduduk di sudut kamar. Ia terlihat bagaikan seorang anak kecil yang baru saja dimarahi. Asiong tidak menjawab. Ia menggeleng keras sambil mengatup bibirnya rapat.Â
"Dia tidak punya wajah!" teriak Asiong. "Wajahnya Rata. Tidak ada mata, tidak ada alis, hidung, dan mulut. Semuanya tidak ada!" teriaknya lagi.
Akuang menghela napas. Jawaban Asiong itu bukanlah kali pertama ia dengar. Setiap kali ia bertanya tentang wajah perempuan itu, jawabannya selalu sama.
"Kamu sudah besar, tidak seharusnya kamu takut sama hantu lagi," tangkas Akuang sambil garuk-garuk kepala. Matanya menatap nanar, bingung atas perubahan sikap adiknya yang tiba-tiba itu.Â
"Tinggalkan saja adikmu! Biar saja. Dia sudah jadi hantu!" Teriakan ibu dari luar kamar memecah keheningan.Â