Namun, percuma. Tidak ada lubang, yang ada hanya parit pembatas yang sudah dibeton. Tanah kuburan di zaman sekarang pun sudah menjadi tanah yang paling mahal. Tidak heran jika tidak ada lagi tanah yang terbengkalai.
Gundah, Akuang melangkah pergi, menuju ke bongpay Engkong, untuk berkumpul kembali bersama keluarga besar. Namun, sebelum ia balik badan, matanya menangkap sebuah tanah ceruk. Letaknya berada di antara dua tanah kapling kuburan, terlihat mirip parit pembatas. Tidak heran jika ia tidak melihatnya tadi.
Jantung Akuang berdebar. Matanya terbelalak ketika mengingat kejadian 20 tahun lalu. Asiong terjerembab sambil berteriak-teriak histeris.Â
Akuang menguatkan hatinya. Sebentar lagi ia akan melakukan hal yang sama dengan adiknya 20 tahun lalu. Konyol, tetapi ia merasa perlu untuk melakukan itu. Untuk membuktikan kepada adiknya bahwa trauma-nya hanyalah ilusi yang tidak terbukti.
Dengan perasaan gamang, Akuang melangkah perlahan. Ia termenung sesaat di depan lubang. Lalu, perlahan kaki kiri ia langkahkan. Disusuli dengan kaki kanannya, kini seluruh tubuhnya sudah berada di dalam lubang. Berdiri diam sambil menatap ke sekelilingnya. Menunggu sambutan dari seorang perempuan yang konon berwajah rata.
Beberapa detik berlalu, Akuang menggigit bibirnya. Matanya menatap lekat pada jarum detik yang berjalan perlahan, hingga ujungnya melewati angka 12. Semenit waktu telah berlalu, Akuang mengangkat kepalanya, dan sekali lagi mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Tidak ada perubahan. Tidak ada hutan, tidak ada bola-bola astral, dan tidak ada hantu perempuan berwajah rata.
"Hei, ke mana saja kamu? Ayo cepat. Acara sembahyang sudah mulai!" Sebuah suara mengagetkan dirinya.Â
Refleks, Akuang membalik badannya dan berteriak keras. "Iya, sebentar lagi. Aku sedang ..."
Akuang terperenyak. Suara itu bukan hanya suara yang ia kenal. Namun, juga wajah yang sudah tidak asing lagi. Sosok itu berdiri di pinggir lubang, menatapnya tajam. "Lho, bukannya kamu di rumah, Siong?" tanya Akuang keheranan.Â
Bukannya menjawab, Asiong justru balik badan dan berjalan menuju keramaian. Â Akuang mengikutinya dari belakang. Dari kejauhan ia melihat ibunya sedang melambaikan tangan. Para keluarga sudah duduk bersila sambil memegang dupa. Acara sembahyang puncak sebentar lagi akan dimulai.
Akuang mempercepat langkahnya. Ia melihat wajah sang Ibunda yang memerah, memarahi Asiong, "Apa yang kubilang tentang Akuang? Dia sudah jadi hantu sejak ia jatuh di lubang sana 20 tahun lalu. Dan, kamu masih saja menganggapnya ada!" Â Â