Instruksi yang Heng terima sudah cukup jelas. Ia harus menggunakan belati itu untuk menyayat kulit tangannya, meneteskan darah, dan mencampurinya dengan darah murni keluarga Xiao. Racikan sempurna itulah yang akan dioleskan pada dahi anak-anaknya. Itu setelah ia mengumandangkan nama kedua bayinya yang sudah tersurat.
"Berikanlah nama kepada mereka!" desak Lo-pek lagi ketika melihat Heng masih juga diam mematung.
Heng mulai bereaksi. Ia meletakkan mangkuk porselen di atas meja kecil, lalu tangan kirinya mengambil belati pusaka Xiao dan menyayat kulit telapak tangan kanannya. Darah murni telah bercampur dengan darah ayah kandung si Dewi Kembar. Menggenapkan dua kekuatan sempurna.
"Sekarang!" Â Lo-pek memekik, suaranya tidak setenang tadi lagi. Tiga batang dupa di tangannya mulai bergoyang-goyang. Perlahan-perlahan, lalu lama kelamaan menjadi semakin kencang. Wajah Lo-pek memucat, tubuhnya menegang.
Seiring dengan itu, terdengar teriakan histeris. Si Bidan berteriak. Ia menunjuk ke arah tempat tidur bayi. Konsentrasi Heng buyar seketika. Matanya terbelalak ketika melihat bayi yang bertubuh lebih tambun menerkam kembarannya. Gerakannya liar bak anak harimau yang baru belajar menerkam. Kulitnya berwarna gelap, hitam bagaikan arang. Lalu, matanya, itu bukan tatapan mata manusia, Heng bergidik. Apalagi dengan kemunculan gigi-gigi taring.  Ia menggigit kembarannya. Darah mengucur dari pundak bayi malang itu, menodai seprai putih dengan cairan merah.
Si tertawa melalap si menangis!
Kini Heng tahu apa arti dari potongan syair kuno itu. Tangisan bayi terdengar semakin keras, menyayat hati, lalu berubah mengerikan!
Tangisan bayi itu terdengar sahut menyahut dengan bunyi lain yang tidak senada. Suara cekikikan! Suasana menjadi lebih mencekam seiring dengan bunyi doa yang dilantunkan lagi oleh para pendoa. Syair suci untuk melawan kekuatan iblis!
"Cepat lakukan!" hardik Lo-pek. Suaranya mengisyaratkan ketakutan, seolah-olah teror yang mengerikan akan segera terjadi. Firasatnya benar. Sekedip mata kemudian, Lo-pek tersungkur ke lantai. Seakan-akan ada seseorang atau sesuatu yang mendorongnya. Ia mencoba untuk bangkit kembali. Namun, setiap kali ia berdiri, sesuatu yang tidak terlihat kembali mendorongnya. Begitu keras, sehingga bunyi benturan terdengar kencang. Begitu terus, berulang-ulang kali.
Suasana yang tadinya hening di dalam kamar tidur itu, serta-merta tergantikan dengan teriakan-teriakan histeris. Orang-orang menghambur keluar, kecuali para pendoa yang tetap melafalkan ayat suci dengan tubuh gemetar.
Suara cekikikan itu semakin nyaring terdengar.