"Baik, Lo-pek. Sekarang saatnya."
Heng mengulurkan tangannya dan memutar gagang pintu. Â Tubuh Heng bergidik. Bau kemenyan dan lantunan doa tanpa henti dalam bahasa Pali membuatnya seperti sedang menapaki dimensi yang berbeda. Â Heng melipat kedua lengan di dada. Malam yang dingin itu terasa semakin dingin. Â Ia melangkah masuk. Beberapa orang yang berada di belakangnya mengikuti.Â
Seorang perempuan menyambut Heng di depan pintu. Tatapannya yang nanar mengisyaratkan agar Heng mendekati dua orang bayi yang terbaring di tempat tidur bayi. Suara tangisan bayi-bayi itu terdengar sempurna, membuat Heng merasa tenang.
"Mereka lahir normal?" tanyanya kepada si bidan yang mengangguk sambil tersenyum. "Syukurlah," desahnya seraya menatap wajah kedua bayi itu lekat-lekat.Â
Lalu, wajah yang tadinya semringah kini berkerut lagi. Heng mengkhawatirkan kondisi istrinya yang baru saja melahirkan. Matanya tertuju kepada wajah yang terbaring lemas di atas tempat tidur, menggeleng, menatapnya tajam, dan tampak mengiba.
"Kamu baik-baik saja, Sayang?" tanya Heng.
Sang istri tidak menjawab. Gelengannya semakin kencang dan tangisannya semakin menjadi-jadi.
"A-Apa yang terjadi?" desak Heng lagi.
Istrinya masih enggan menjawab. Ia memalingkan wajah dan memejam, seolah-olah tidak ingin lagi peduli dengan apa yang telah terjadi. Heng tidak perlu lagi bertanya. Tidak ada lagi penjelasan yang diperlukan. Ia tahu, ada sesuatu yang tidak beres.
Sontak ia membalikkan tubuhnya, menghambur ke arah kedua bayi kembarnya. Sekali lagi, ia memperhatikan tubuh-tubuh merah itu dengan saksama. Tidak ada yang aneh. Semuanya normal. Bagian-bagian tubuhnya lengkap.
Kecuali ....