Untuk membuktikan keyakinannya, Heng kembali mendekati tempat tidur bayi. Ia melihat kedua buah hatinya dengan saksama. Ternyata, salah satu dari bayi itu tidak lagi terlihat sama seperti tadi. Heng memicingkan mata, menatap lekat-lekat bayi itu. Digelengkan kepalanya beberapa kali, tangannya mengusap-usap mata. Tetap, tidak ada yang berubah. Apa yang barusan ia lihat masih sama seperti itu.
Bayi itu ....
Bayi yang tertawa itu berukuran lebih besar dan gempal daripada kembarannya. Jika ditaksir, kira-kira sudah menyerupai anak yang berusia sebulan.
"T-Tidak mungkin," desis Heng.
Lo-pek menghampiri Heng. "Terimalah kenyataannya, Anakku," lirihnya. "Segera lakukan ritualnya, sebelum si tertawa melalap yang si menangis."
"Melalap?" tanya Heng. Ia masih belum memahami potongan frasa dari syair kuno tersebut. Namun, Lo-pek tidak menjelaskannya lagi. Tangan kanannya menggenggam tiga batang dupa merah sepanjang 60 cm. Sementara, tangan kirinya menyodorkan sebuah mangkuk porselen berisikan cairan merah kepada Heng. Di dalam mangkuk itu terdapat sebilah belati mengilap yang membuat Heng jeri.
"Oleskan darah murni ini di dahi anak-anakmu," perintahnya kepada Heng.
"Sekarang saatnya, berikanlah nama untuk mereka," perintahnya lagi saat Heng mengambil mangkuk itu dari tangannya.
"Tidak, jangan Koh. Jangan, aku tidak mau kehilangan mereka!" Istri Heng yang masih terbaring lemas itu, tiba-tiba berteriak keras. Ia mencoba mencegah suaminya untuk melakukan sesuatu yang mengerikan. "Jangan, Koh!" teriaknya lagi.
Namun, Heng tahu dengan siapa ia berhadapan, dan takdir seperti apa yang harus ia jalankan. Bayi-bayi kembar itu tidak bisa bersatu. Salah satunya harus mati. Pertaruhannya terlalu besar, kelangsungan hidup marga Xiao sirna.
Heng menatap mangkuk di dalam buaian kedua telapak tangannya. Cairan darah murni yang dimaksud Lo-pek merupakan barang yang paling sakral dalam tradisi keluarga Xiao yang konon berasal dari leluhur pertama. Sementara belati yang terdapat di dalamnya adalah artefak kuno yang usianya sudah ribuan tahun. Menurut cerita yang Heng dengar, belati itu milik seorang penyihir ternama Kerajaan Dinasti Zhou. Penyihir itu adalah leluhur pertama marga Xiao.