"E-Eh. Aku pernah menjadi penari." Kata-kata itu keluar begitu saja sebelum ia menyesalinya. Seharusnya tidak relevan, perawat dan penari adalah dua hal berbeda. Bahkan bisa dibilang kontradiktif. Lagipula pilihan pekerjaan itu adalah bagian dari masa lalunya yang tidak ingin ia ingat lagi.
Terlalu kelam.
"Menarik," imbuh Henry tanpa menunjukkan sedikit pun perubahan ekspresi pada wajahnya. Namun, ucapan selanjutnya dari pria itu justru membuat wajah Medika merona.
"Aku selalu punya angan ingin bercinta dengan seorang penari."
"M-Maksudnya, Pak?" Mata bulat Medika menjadi semakin melingkar. Sejenak ia merasa mual. Ia tidak percaya jika kalimat itu tercetus dari seorang pria yang terlihat sopan dan terpelajar.
Pria itu seharusnya meminta maaf. Tapi, itu tidak pernah terjadi. Ia masih asyik dengan lembaran-lembaran kertas di tangannya, menyusurinya seperti sedang membaca novel. Diam dan tidak mau diganggu.
Medika semakin kikuk setelah diacuhkan. Pikirannya mengembara tanpa arah, melompat ke sana-sini seperti seekor monyet liar kelaparan. Mencoba mempertimbangkan, apakah ia harus tetap menunggu di sana atau langsung mendamprat pria yang baru saja melecehkannya itu. Untungnya, ia sadar jika ia adalah seorang wanita masa kini. Celotehan itu hanya akan menjadi aib bagi wanita seusia ibunya. Untungnya juga ia masih bisa merengkuh ketenangannya. Ia sadar jika dirinya butuh pekerjaan itu.
Terlebih lagi, kalimat dari Henry bisa saja tidak dimaksudkan buat dirinya. Itu hanya sebuah celotehan saja. Tidak lebih, tidak kurang.
"Tidak usah ge-er kamu, Medika!" teriak batinnya.
Kesabarannya membuahkan hasil. Karena beberapa menit kemudian, si pria flamboyan itu langsung memberikannya kabar baik.
"Kamu saya terima. Gaji kamu 15 juta per bulan. Bersih!"