Serba putih. Tembok yang dicat putih, gorden bewarna putih, meja, pagar, pintu kamar, ubin, sofa, teralis, bahkan kain sprei yang sedang ia duduki saat itu. Semuanya berwarna putih.
Gadis itu tidak perlu protes, meskipun ia adalah pencinta ragam. Merah itu berani, biru bijaksana, hijau berarti sejuk. Warna-warni di sekitarnya melambangkan betapa cerianya kehidupan. Itu yang ia yakini. Atau setidaknya, itu yang ia impikan.
Sayangnya, mimpi itu tidaklah demikian, karena warna putih adalah kenyataan hidup. Tempat di mana ia berada sekarang, tempat baginya untuk melihat masa depan.
Medika Quella namanya. Gadis berusia dua puluh tahun yang baru saja menempati kamar pribadinya, sekaligus rumah, tempat kerja baru, dan mungkin juga penjara pribadinya. Atas dorongan sang Bunda, ia melamar ke sebuah yayasan pengelola rumah jompo. Bermodalkan secarik ijazah keperawatan, Medika akhirnya diterima bekerja sebagai perawat.Â
"Kamu tidak terlihat seperti perawat." Medika masih ingat pertanyaan pertama yang menyeruak dari mulut calon bosnya - Henry de Witt. Seorang pria bertubuh tegap, atletis, dengan tinggi 180 sentimeter. Sekilas ia lebih mirip pemain sepak bola professional daripada seorang pengusaha.
"Kenapa, Pak?" tanya Medika, meskipun di dalam hati, ia sudah tahu jawabannya.
"Kamu cantik. Badan kamu bagus. Tinggi kamu 170 sentimeter. Lebih cocok jadi model." Medika pura-pura tidak bereaksi, saat pria yang mewawancarainya itu meliriknya dengan ujung matanya. Bagaimana pun juga seorang wanita pasti senang mendapat pujian. Terlebih lagi dari lawan jenis yang menawan, seorang pria perlente, berusia 30an, yang juga penentu karirnya.
"Ehm." Tanpa sadar Medika berdehem. Ia tidak bisa menyembunyikan perasaan kikuknya. Suaranya kecil, hampir tidak terdengar, dan seharusnya diabaikan.
Akan tetapi, ia lupa. Medika lupa bahwa setiap gerak-gerik calon pelamar adalah hal yang penting saat sedang diwawancarai. Dan, itu terbukti dengan pertanyaan kedua yang dilayangkan oleh Henry.
"Ada yang ingin kamu sampaikan?"
"E-Eh. Aku pernah menjadi penari." Kata-kata itu keluar begitu saja sebelum ia menyesalinya. Seharusnya tidak relevan, perawat dan penari adalah dua hal berbeda. Bahkan bisa dibilang kontradiktif. Lagipula pilihan pekerjaan itu adalah bagian dari masa lalunya yang tidak ingin ia ingat lagi.
Terlalu kelam.
"Menarik," imbuh Henry tanpa menunjukkan sedikit pun perubahan ekspresi pada wajahnya. Namun, ucapan selanjutnya dari pria itu justru membuat wajah Medika merona.
"Aku selalu punya angan ingin bercinta dengan seorang penari."
"M-Maksudnya, Pak?" Mata bulat Medika menjadi semakin melingkar. Sejenak ia merasa mual. Ia tidak percaya jika kalimat itu tercetus dari seorang pria yang terlihat sopan dan terpelajar.
Pria itu seharusnya meminta maaf. Tapi, itu tidak pernah terjadi. Ia masih asyik dengan lembaran-lembaran kertas di tangannya, menyusurinya seperti sedang membaca novel. Diam dan tidak mau diganggu.
Medika semakin kikuk setelah diacuhkan. Pikirannya mengembara tanpa arah, melompat ke sana-sini seperti seekor monyet liar kelaparan. Mencoba mempertimbangkan, apakah ia harus tetap menunggu di sana atau langsung mendamprat pria yang baru saja melecehkannya itu. Untungnya, ia sadar jika ia adalah seorang wanita masa kini. Celotehan itu hanya akan menjadi aib bagi wanita seusia ibunya. Untungnya juga ia masih bisa merengkuh ketenangannya. Ia sadar jika dirinya butuh pekerjaan itu.
Terlebih lagi, kalimat dari Henry bisa saja tidak dimaksudkan buat dirinya. Itu hanya sebuah celotehan saja. Tidak lebih, tidak kurang.
"Tidak usah ge-er kamu, Medika!" teriak batinnya.
Kesabarannya membuahkan hasil. Karena beberapa menit kemudian, si pria flamboyan itu langsung memberikannya kabar baik.
"Kamu saya terima. Gaji kamu 15 juta per bulan. Bersih!"
Untuk sekali lagi, mata bulat Medika terlihat semakin melingkar. Bibir tipisnya terbuka lebar. Hidung bangirnya kembang kempis laksana balon anak-anak.
Lima belas juta rupiah per bulan!
Rasanya jumlah itu tidak pantas bagi dirinya yang belum memiliki pengalaman kerja sebagai perawat. Ia ingin mengiyakan, tapi nuraninya serasa terhalang oleh sebuah tembok raksasa.
"Kamu terima?" tanya Henry lagi.
"Eh. Iya. Tapi, Bapak belum menanyakan kompetensiku," protes Medika.
"Tidak perlu," potong Henry. "Aku sudah tahu siapa dirimu."
Lengkaplah sudah keruwetan di kepala Medika. Jika benang kusut bisa diajak berbicara, mungkin 'omong kosong' akan menjadi topik yang paling hangat. Medika penggemar karya fiksi. Ia merasa kejadian yang ia alami itu bagaikan untaian prolog dari sebuah kisah horor. Apakah calon bosnya itu semacam cenayang atau ia hanya asal bicara saja. Atau apakah ia akan dijebak dalam sebuah konspirasi senyap nan gelap?
Ah, tidak. Itu tidak penting lagi. Ia sudah diterima bekerja dengan gaji yang fantastis. Dobel digit kata orang-orang zaman sekarang. Itulah kenyataannya. Lagipula Henry sudah berdiri dan terburu-buru meninggalkan dirinya yang masih duduk termenung di sofa.
Medika baru tersadar setelah seorang wanita bertubuh tambun memanggil namanya. Ialah yang bertugas untuk menjelaskan tugas dan setiap detil hal yang perlu diketahui olehnya. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H