Di sinilah peranan INTI. Edukasi yang kami lakukan bukan kepada suku-suku lainnya di bumi pertiwi. Tapi, juga kepada sesama orang Tionghoa bahwa sudah saatnya untuk lebih mencintai negeri ini. Leluhur kita memang berasal dari negeri Cina. Tapi, kita yang lahir di Indonesia adalah 100% pribumi.
Dan, pernyataan saya ini pun disambut lagi oleh sang Kiai. Beliau menanyakan pertanyaan kedua, "Apakah ada orang Tionghoa yang kawin campur? (dengan suku lain)."
Sekali lagi, semua orang yang berkumpul di sana menjawab, "adaaaa...."
Lalu, sang Kiai menyambungnya dengan jawaban yang menohok. "Jika begitu, berilah aku seorang gadis Tionghoa."
Seorang kawan langsung tertawa terbahak-bahak. "Pak, Kiai mau kawin lagi?"
Sang Kiai tersenyum. "Tidak, saudaraku. Aku mau menjodohkannya dengan putra bungsuku. Agar di tengah keluargaku, Indonesia yang kuidam-idamkan benar-benar terjadi."
Semua orang terdiam. Aku pun terdiam. Terharu, tergugah, terbaur menjadi seribu satu perasaan yang berkecamuk.
Andaikan lebih banyak orang bisa berpikir seperti sang Kiai, masih perlukah mempermasalahkan perbedaan?
**
Acek Rudy for Kompasiana
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H