Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Indonesia Tionghoa yang Bukan Tionghoa Indonesia

5 Juni 2023   07:54 Diperbarui: 5 Juni 2023   07:58 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mukernas Perhimpunan Indonesia Tionghoa IV (gambar: dokumen pribadi) 

Jadi begini,

Kemarin malam di Makassar Golden Hotel (03.06.2023), sebuah acara akbar sedang berlangsung. Gala dinner yang dirangkaikan dengan penutupan Mukernas INTI IV di kota Makassar. Bulan bercahaya terang, tidak ada tanda-tanda temaram. Makanan berlimpah ruah, musik mengalun indah. Para hadirin senang bukan kepalang.

Saya termasuk salah satu di antaranya.

Duduk di tengah-tengah sobat seperjuangan, memimpikan sebuah tujuan mulia. Mengandaikan negeri ini menjadi surga bagi seluruh penduduk Indonesia. Ya, semua penduduk, tanpa terkecuali. Dalam arti siapa pun yang berada di sana. Tidak peduli apakah kulitnya berwarna hitam, kuning, atau putih. Tidak ada perbedaan yang perlu direcoki!

Benar. Sudah lama saya mengimpikan Indonesia menjadi negeri yang toleransi. Di tengah begitu banyaknya keragaman, tidak ada permasalahan yang perlu diributkan.

Ternyata, kenyataan ini sudah aku rasakan.

Setidaknya itu yang terlihat pada acara kemarin malam. Batik berwarna merah menyilaukan mata. Ada tulisan INTI; Singkatan dari Indonesia Tionghoa. Sekilas ada eksklusivitas di sana. Namun, peserta yang hadir bukan hanya suku Tionghoa saja.

Dan, mereka adalah bagian dari pengurus perhimpunan INTI. Sebuah organisasi sosial kemasyarakatan yang bersifat kebangsaan, egaliter, pluralis, inklusif, demokratis, dan independen.

Mungkin belum banyak yang tahu, bahwa organisasi ini bukan hanya milik orang Tionghoa saja. Tapi, nyatanya memang demikian. Di berbagai daerah di Indonesia, pengurus INTI tidak saja berasal dari warga Tionghoa, tetapi juga dari teman-teman suku lainnya.

Misi dari perhimpunan INTI adalah "penuntasan masalah Tionghoa di Indonesia, menuju terwujudnya bangsa Indonesia yang kokoh, rukun bersatu dalam keharmonisan bhinneka. Saling menghargai dan saling percaya."

Masalah Tionghoa sudah terjadi sejak puluhan bahkan mungkin ratusan tahun lamanya. Sudah sangat lama orang-orang Tionghoa di Indonesia menerima perlakuan diskriminatif. Baik dalam bentuk segregasi sosial, maupun peraturan pemerintah.

Dengan demikian, kami percaya bahwa penuntasan masalah Tionghoa bukan saja milik orang Tionghoa saja.

Lalu, mengapa harus melibatkan suku lainnya?

Ah, Jangan dijawab dulu. Karena perbincangan saya dengan seorang tamu mungkin bisa merefleksikan kondisi ini.

Saya duduk dengan seorang yang notabene bukan dari suku Tionghoa. Beliau adalah seorang Kiai, seorang sahabat lama, pemerhati masalah Tionghoa. Di meja bundar itu ada juga beberapa tamu undangan lainnya.

Nah, beliau lalu melemparkan sebuah pertanyaan sederhana. Sedikit terkesan nyeleneh, namun saya tahu jika itu adalah refleksi dari kecerdasannya.

"Adakah orang Tionghoa yang miskin?" Demikian beliau bertanya. Tanpa dikomando, semua yang berada di meja itu menjawab, "Adaaaa...."

Lalu, sang Kiai cerdas ini pun langsung menyambut pernyataan hadirin dengan sebuah jawaban yang menohok.

"Jika demikian, marilah kita bahu membahu, bekerja sama menuntaskan masalah sosial di Indonesia. Karena sesungguhnya, masalah kemiskinan, masalah ketidaksetaraan, masalah kesenjangan, bukanlah milik dari suku tertentu saja."

Semua terdiam. Termasuk saya. Aku memandang mata sang Kiai. Ada ketulusan berbalut keseriusan di sana. Pernyataan beliau yang sederhana ini sudah cukup melambangkan bahwa permasalah Tionghoa bukan hanya milik Tionghoa saja.

Namun, akan menjadi permasalahan seandainya suku Tionghoa masih dianggap sebagai suku terasing yang bukan bagian dari bangsa ini.

Apa yang terjadi jika paradigma ini masih terjadi?

Bukan hanya orang-orang Tionghoa saja yang menderita, tapi seluruh komponen bangsa.

Mengapa?

Karena Indonesia adalah sebuah negara. Tujuan kita jelas -- Menjadi bangsa yang kuat, kokoh, sejahtera, bermartabat, dan dihargai oleh negara lain, serta sederet hal-hal baik yang termaktub di dalamnya.

Membeda-bedakan warga negara berdasarkan suku, agama, dan ras hanya akan membuat negeri ini berjalan mundur, berbalik lagi ke zaman ngawur. Oleh sebabnya, masalah diskriminasi dan seluruh tetek bengeknya bukan hanya milik orang Tionghoa saja. Tapi, seluruh rakyat Indonesia yang peduli akan hal ini.

Kendati demikian, sebagai orang Tionghoa saya juga menyadari bahwa kami yang harus berada pada garda terdepan untuk menjaga hal ini. Masalah diskriminasi ini bagaikan sebuah proses sebab akibat. Ada aksi, ada reaksi. Dan, jika tidak diperbaiki, akan menjadi sebuah efek bolak-balik tanpa akhir.

Saya sering bercanda kepada teman-teman sesama Tionghoa, "Jika tidak ingin dikatai Cina, janganlah menjadi Cina."

Tentu saja saya tidak mengajak kita untuk menyembunyikan identitas, apalagi hingga melawan kodrat. Yang saya maksud adalah: Jika ingin melakukan perubahan, mulailah dari diri sendiri.

Cina adalah ucapan diskriminatif kepada suku Tionghoa. Artinya jelek sekali. Bukan hanya merendahkan martabat saja, tapi lebih parah dari itu -- Sebagai bentuk ujaran kebencian.

Tentu, proses ini tidak terjadi begitu saja. Ada sejarah panjangnya. Benar, bahwa ada sekelompok oknum yang tidak bertanggung jawab yang sampai saat ini masih menginginkan perpecahan. Mereka tidak senang jika bangsa ini bersatu, hidup dalam damai. Sehingga isu rasisme, selalu menjadi "gorengan hangat" di tengah masyarakat.

Namun, teman-teman Tionghoa juga harus menyadari. Bahwasanya sudah bukan saatnya lagi menunjukkan sifat yang tidak terpuji. Seperti, hanya bergaul kepada sesama kaumnya. Tidak ingin membaur, dan tidak ingin menyatu.

Di sinilah peranan INTI. Edukasi yang kami lakukan bukan kepada suku-suku lainnya di bumi pertiwi. Tapi, juga kepada sesama orang Tionghoa bahwa sudah saatnya untuk lebih mencintai negeri ini. Leluhur kita memang berasal dari negeri Cina. Tapi, kita yang lahir di Indonesia adalah 100% pribumi.

Dan, pernyataan saya ini pun disambut lagi oleh sang Kiai. Beliau menanyakan pertanyaan kedua, "Apakah ada orang Tionghoa yang kawin campur? (dengan suku lain)."

Sekali lagi, semua orang yang berkumpul di sana menjawab, "adaaaa...."

Lalu, sang Kiai menyambungnya dengan jawaban yang menohok. "Jika begitu, berilah aku seorang gadis Tionghoa."

Seorang kawan langsung tertawa terbahak-bahak. "Pak, Kiai mau kawin lagi?"

Sang Kiai tersenyum. "Tidak, saudaraku. Aku mau menjodohkannya dengan putra bungsuku. Agar di tengah keluargaku, Indonesia yang kuidam-idamkan benar-benar terjadi."

Semua orang terdiam. Aku pun terdiam. Terharu, tergugah, terbaur menjadi seribu satu perasaan yang berkecamuk.

Andaikan lebih banyak orang bisa berpikir seperti sang Kiai, masih perlukah mempermasalahkan perbedaan?

**
Acek Rudy for Kompasiana

  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun