Beberapa toko buku lokal ingin meraup omzet, mengabaikan keuntungan. Buku pun didiskon hingga 20%. Dan, lebih menakutkan lagi karena jaringan toko buku besar juga melakukan hal yang sama. Mereka terlalu cepat mengambil keputusan. Mungkin karena panik atau alasan lain. Diskon 25% pun disertakan saat usia penerbitan baru seumur jagung. Bagi mereka mungkin tidak masalah. Terkait prinsip kantong kiri -- kantong kanan.
Ini belum termasuk kesempatan yang hilang
Saya masih ingat, di zamanku dulu ada buku-buku yang laris manis. Dan, itu adalah komik-komik keluaran penerbit besar. Berapa pun jumlah yang masuk ke toko pasti habis terjual. Nah, masalahnya penerbit besar itu juga punya jaringan toko buku yang besar.
Jangan harap toko buku kecil semacam punyaku akan mendapatkan stok baru tepat waktu. Memang tidak selamanya demikian, tetapi banyak kasus yang kutemui, buku-buku best seller itu lebih cepat menempati rak buku jaringan sendiri sebelum dibagikan kepada toko buku lainnya. Jarak waktunya biasanya satu sampai dua minggu. Akhirnya, kesempatan untuk meraup cuan cepat hilang begitu saja.
Apakah ini memang disengaja? Entahlah.Â
Apakah hal yang sama juga terjadi dengan jaringan toko buku Gunung Agung (GA) yang baru saja tutup. Menurut saya, serupa tapi tidak persis sama. Analisisku, ada beberapa hal mendasar yang menjadi penyebab.
Pertama. Perubahan pasar
Pangsa pasar yang tergerus karena perubahan kebiasaan berbelanja konsumen melalui sistem daring.
Kedua. Biaya yang semakin tinggi.
Komponen terbesar datang dari harga sewa harga di mal sudah sangat tinggi. Komponen selanjutnya adalah UMR yang terus meningkat. Lalu, tidak lupa juga biaya pendukung lainnya, seperti listrik, maintenance, dan operasional. Sebagai catatan lokasi toko buku GA kebanyakan berada di pusat perbelanjaan.Â
Ketiga. Kurangnya dukungan dari penerbit.