Akhirnya tergoda juga menuliskan artikel ini setelah sekian saat Kompasiana meluncurkan topik pilihan "Toko Buku Tutup." Isu ini sedang viral dan terkait berita dari toko buku Gunung Agung yang baru saja gulung tikar.
Tidak terlalu mengherankan bagiku, karena proses tersebut telah aku alami. Tepatnya pada tahun 2013, pada saat aku menutup bisnis toko buku yang kugeluti selama 15 tahun.
**
Juli 1997 adalah awal aku berkecimpung di bisnis toko buku. Itu adalah masa keemasan. Tidak ada toko buku lokal yang menawarkan kenyamanan dan kelengkapan sebagaimana usaha milikku itu. Desainnya kekinian, menggunakan fasilitas penyejuk ruangan, lengkap dengan staf toko yang ramah dan berpengetahuan.
Dilihat sekilas, kualitasnya tidak kalah dengan jaringan toko buku nasional. Lagipula, di kota kelahiranku pada saat itu, toko buku nasional baru memiliki satu cabang. Itupun cukup jauh dari lokasi usahaku.
Tiga tahun pertama aku menikmati cuan gede. Tempat parkir tidak pernah sepi pengunjung, kasir selalu ramai antrian. Namun, hanya tiga tahun pertama saja. Setelahnya, bisnisku mulai mengalami kesulitan.
Cuan yang kukumpulkan perlahan mulai tergerus. Puncaknya pada tahun ke-10. Jangankan keuntungan, modal kerja pun mulai menipis. Hingga akhirnya aku menyerah, lima tahun setelahnya.
Jika ada yang bertanya kepadaku, jawabanku selalu sama. Bisnis toko buku adalah usaha yang sudah memasuki usia senja. Sebentar lagi akan redup dan padam sendiri.
Alasannya?
Aku hanya menceritakan bagaimana agresifnya jaringan toko buku nasional yang berekspansi hingga ke pelosok. Lalu, membandingkannya dengan bagaimana zaman sudah berubah. Kebiasaan berbelanja off-line secara perlahan telah digantikan dengan sistem e-commerce yang begitu membadai. Dan, jika masih terasa kurang, kesalahan akan kulimpahkan kepada minat baca masyarakat Indonesia yang sudah mulai menurun.
Cukup masuk akal bukan?
Sebenarnya tidak, karena pada tahun 2007 saat aku menghentikan usahaku, minat beli buku masyarakat kota kelahiranku masih cukup besar. Toko buku masih menjadi pilihan berbelanja masyarakat.
Lagi pula pada saat itu, e-commerce masih menjadi barang asing. Medsos belum seagresif hari ini. Membaca secara daring masih belum menjadi kebiasaan.
Lalu, masalahnya di mana?
Aku sudah mulai "putus asa" sejak 2007. Itu karena bisnis yang kujalani sudah mulai menampakkan gejala-gejala membahayakan. Lebih besar pasak daripada tiang.
Aku sudah tidak bisa menjaga pertumbuhan yang stabil setiap tahunnya. Itu karena kelengkapan buku mulai berkurang. Usahaku sudah mengalami kekurangan modal kerja. Efek lanjutannya, toko mulai sepi dan ditinggalkan pelanggan.
Pertanyaan sederhana, mengapa tidak melakukan pembaharuan saja. Lengkapi stok agar pelanggan tertarik untuk datang kembali. Tidak semudah itu ferguso.
Penyebab utamanya ada beberapa. Mari kita bedah satu persatu.
Stok "Mati"
Sumbernya berasal dari beberapa hal. Yang paling besar adalah dari buku pelajaran sekolah. Semasa saya SD dan SMP dulu, uku pelajaran sekolah harus dibeli di toko buku. Sekolah tidak menyediakan. Namun, pada saat duduk di bangku SMA kebiasaan itu mulai berubah. Tidak perlu capek-capek ke toko buku, karena sekolah sudah menyediakannya.
Harganya agak sedikit mahal, tapi masih sebanding dengan kepraktisannya. Lalu, semakin lama semakin menjadi. Sebagai toko buku, tentu saja saya harus menyediakan buku pelajaran sekolah. Itu adalah soal prinsip.
Tapi, buku pelajaran sekolah yang kusimpan, pada akhirnya hanya akan menjadi pajangan tak berarti. Tidak ada murid sekolah yang membelinya. Itu karena penerbit telah berhasil membuka jalan, langsung berjualan ke sekolah.
Lebih parahnya lagi, hampir setiap tahun kurikulum berganti. Buku pelajaran yang sudah kusimpan, hanya akan berakhir menjadi kertas biasa tanpa arti.
Stok Menumpuk
Sebagaimana sebuah usaha, kelengkapan produk menjadi daya tarik utama. Bukan hanya penjual buku saja, tetapi penerbit (supplier) juga menyadari. Dan, di sanalah pangkal masalahnya.
Berbicara mengenai buku maka jenisnya banyak. Persoalannya, tidak ada buku yang laku sepanjang masa. Jika waktunya sudah lewat, maka buku tersebut hanya akan teronggok di sudut ruang. Meskipun dengan label diskon 95% pun, ia masih enggan pergi.
Sementara syarat dan ketentuan yang diberikan oleh penerbit adalah minimum pembelian dengan paket lengkap. Jika tidak dipenuhi, jangan harap akan disupply. Thus, Namanya juga paket lengkap. Madu dan racun harus ditelan. Sebagian memang merupakan buku yang potensi laku keras, tetapi lebih banyak yang sudah pasti menunggu didiskon. Ini belum termasuk ketentuan minimum pembelian yang harus diambil.
Memang sih, sebagian penerbit memberlakukan sistim titip jual (konsinyasi), tetapi jangan harap itu adalah buku laku. Sebagian akan ditarik kembali lagi karena tidak laku.
Profit yang tergerus
Menjual buku tidak bisa serampangan. Sudah ada daftar harga nasional. Biasanya toko buku diberikan keuntungan sekitar 25-30%. Profit yang cukup wajar, mengingat biaya dan risiko yang harus ditanggung oleh pemiliki toko buku.
Sayangnya, tidak demikian.
Beberapa toko buku lokal ingin meraup omzet, mengabaikan keuntungan. Buku pun didiskon hingga 20%. Dan, lebih menakutkan lagi karena jaringan toko buku besar juga melakukan hal yang sama. Mereka terlalu cepat mengambil keputusan. Mungkin karena panik atau alasan lain. Diskon 25% pun disertakan saat usia penerbitan baru seumur jagung. Bagi mereka mungkin tidak masalah. Terkait prinsip kantong kiri -- kantong kanan.
Ini belum termasuk kesempatan yang hilang
Saya masih ingat, di zamanku dulu ada buku-buku yang laris manis. Dan, itu adalah komik-komik keluaran penerbit besar. Berapa pun jumlah yang masuk ke toko pasti habis terjual. Nah, masalahnya penerbit besar itu juga punya jaringan toko buku yang besar.
Jangan harap toko buku kecil semacam punyaku akan mendapatkan stok baru tepat waktu. Memang tidak selamanya demikian, tetapi banyak kasus yang kutemui, buku-buku best seller itu lebih cepat menempati rak buku jaringan sendiri sebelum dibagikan kepada toko buku lainnya. Jarak waktunya biasanya satu sampai dua minggu. Akhirnya, kesempatan untuk meraup cuan cepat hilang begitu saja.
Apakah ini memang disengaja? Entahlah.Â
Apakah hal yang sama juga terjadi dengan jaringan toko buku Gunung Agung (GA) yang baru saja tutup. Menurut saya, serupa tapi tidak persis sama. Analisisku, ada beberapa hal mendasar yang menjadi penyebab.
Pertama. Perubahan pasar
Pangsa pasar yang tergerus karena perubahan kebiasaan berbelanja konsumen melalui sistem daring.
Kedua. Biaya yang semakin tinggi.
Komponen terbesar datang dari harga sewa harga di mal sudah sangat tinggi. Komponen selanjutnya adalah UMR yang terus meningkat. Lalu, tidak lupa juga biaya pendukung lainnya, seperti listrik, maintenance, dan operasional. Sebagai catatan lokasi toko buku GA kebanyakan berada di pusat perbelanjaan.Â
Ketiga. Kurangnya dukungan dari penerbit.
Setahu saya, toko buku GA tidak memiliki perusahaan penerbitan sendiri. Sehingga deal-deal yang mereka dapat dari penerbit tentunya berbeda dengan toko buku lainnya yang punya backup full dari penerbit, yang notabene adalah grup perusahaannya juga . Deal-deal tersebut bisa saja tidak menguntungkan sehingga menggerus profit perusahaan. Tapi, ini hanya dugaan saja yang aku hubungkan dengan pengalamanku.
Keempat. Kemampuan bersaing
Profit dari toko buku GA tidak berasal dari penjualan buku saja. Ada juga produk lainnya, seperti alat tulis kantor (ATK), alat olahraga, alat musik, dan lain-lain. Tapi, coba cek harganya. Jauh lebih tinggi daripada toko lokal lainnya.
Dengan segala alasan kondisi ekonomi, masyarakat lebih menyadari akan pentingnya harga murah. Jelas toko buku GA tidak akan mampu bersaing dengan toko-toko lokal. Toko buku besar ini juga tidak semudah itu menyesuaikan harga agar bersaing. Penyebabnya karena investasi yang sudah terlanjur besar dan biaya yang tidak bisa lagi ditekan.
Kelima. Sempitnya ruang gerak
Harus diingat bahwa buku bukanlah komoditas grosir. Sebasah-basahnya lidah penjual buku, ia tidak bisa memaksa seseorang membeli buku lebih daripada kebutuhannya. Dengan begitu kuantitas pembelian berbanding lurus dengan jumlah konsumen.
Di kota-kota besar yang penduduknya banyak mungkin tidak masalah. Nasib sial hanya akan dialami oleh toko buku di pedalaman atau kota kecil seperti tempat kelahiranku.
Wasana Kata
Kelima hal ini mungkin tidak akan mewakili seluruh problema yang dialami oleh toko buku GA. Mungkin masih ada beberapa hal lagi yang terlalu "dalam" jika ingin diulik pada artikel ini.
Sekali lagi, opini ini hanya berdasarkan pengamatanku saja. Bisa saja tidak benar dan kenyataannya tidak demikian. Lagipula, sampai kini masih banyak toko buku lokal yang beredar di kota kelahiranku. Ah, mungkin aku hanya mengada-ada saja dan cari-cari pembenaran.
Namun, hal yang perlu diketahui adalah; Bahwa minat membaca buku masyarakat Indonesia belumlah pudar. Mungkin sebagian karena tidak lagi membeli buku secara offline. Mungkin juga karena kebiasaan yang sudah beralih ke media online. Jadi itu bukanlah penyebab utama kolapsnya bisnis toko buku.
Tapi, ada sesuatu yang lebih besar. Namanya pasar bebas yang sudah terjadi sejak zaman dulu. Pola yang berpihak kepada pemilik kekuatan besar dengan jaringan raksasa-nya. Semoga tidak ada lagi toko buku yang tutup.
**
Catatan; Terima kasih kepada Kompasianer Andi Samsu Rijal yang mengilhamiku menulis artikel ini. Tabik
**
Acek Rudy for Kompasiana
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI