Harganya agak sedikit mahal, tapi masih sebanding dengan kepraktisannya. Lalu, semakin lama semakin menjadi. Sebagai toko buku, tentu saja saya harus menyediakan buku pelajaran sekolah. Itu adalah soal prinsip.
Tapi, buku pelajaran sekolah yang kusimpan, pada akhirnya hanya akan menjadi pajangan tak berarti. Tidak ada murid sekolah yang membelinya. Itu karena penerbit telah berhasil membuka jalan, langsung berjualan ke sekolah.
Lebih parahnya lagi, hampir setiap tahun kurikulum berganti. Buku pelajaran yang sudah kusimpan, hanya akan berakhir menjadi kertas biasa tanpa arti.
Stok Menumpuk
Sebagaimana sebuah usaha, kelengkapan produk menjadi daya tarik utama. Bukan hanya penjual buku saja, tetapi penerbit (supplier) juga menyadari. Dan, di sanalah pangkal masalahnya.
Berbicara mengenai buku maka jenisnya banyak. Persoalannya, tidak ada buku yang laku sepanjang masa. Jika waktunya sudah lewat, maka buku tersebut hanya akan teronggok di sudut ruang. Meskipun dengan label diskon 95% pun, ia masih enggan pergi.
Sementara syarat dan ketentuan yang diberikan oleh penerbit adalah minimum pembelian dengan paket lengkap. Jika tidak dipenuhi, jangan harap akan disupply. Thus, Namanya juga paket lengkap. Madu dan racun harus ditelan. Sebagian memang merupakan buku yang potensi laku keras, tetapi lebih banyak yang sudah pasti menunggu didiskon. Ini belum termasuk ketentuan minimum pembelian yang harus diambil.
Memang sih, sebagian penerbit memberlakukan sistim titip jual (konsinyasi), tetapi jangan harap itu adalah buku laku. Sebagian akan ditarik kembali lagi karena tidak laku.
Profit yang tergerus
Menjual buku tidak bisa serampangan. Sudah ada daftar harga nasional. Biasanya toko buku diberikan keuntungan sekitar 25-30%. Profit yang cukup wajar, mengingat biaya dan risiko yang harus ditanggung oleh pemiliki toko buku.
Sayangnya, tidak demikian.