Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Chuang Bali Bab 1: Sahabat-sahabat Chuang Bali

28 April 2023   17:35 Diperbarui: 4 Oktober 2023   05:21 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: trulychinese.com

"Hei kamu, apa yang kamu lihat?" Chuang berseru kepada seorang kawannya yang bernama Hoey Beng.

"Kamu, ada di mal."

"Terus?"

"Sedang ngantri pesan bakmi."

"Bah, kamu juga tahu kalau keluargaku adalah pengusaha bakmi paling enak di seantero bumi." Chuang berkata tidak senang.

"Buktinya, kamu masih ngantri pesan bakmi." Hoey Beng menjawab acuh sambil menghabiskan sisa-sisa bakmi di dalam mangkuk ayamnya.

"Bahhh.... Ini tidak gratis, bayar sono ke mamaku."

Tapi, Hoey Beng tidak peduli. Sebabnya ia memang acuh. Dan, itu terpatri dari namanya. Masih tiga huruf; Joe Hoey Beng. Bukannya tidak patuh pada Keputusan Presiden No.240 Tahun 1967. Tapi, ayahnya memang telat mendaftarkan dirinya sebagai WNI. Saat seluruh teman-temannya sudah berubah nama, ia masih saja melekat dengan tiga suku kata. Dan, nama itu pun masih terbawa hingga kini.

Tingkah lakunya sesuai dengan namanya. Cina banget. Ia pandai melihat kesempatan. Apapun ia lakoni sepanjang bisa menghasilkan uang. Mulai dari menjual kendaraan bekas, menjadi makelar properti, hingga penjual asuransi. Ia tidak percaya dengan frasa "Time is Money." Menurutnya itu adalah budaya barat. Tidak cukup hanya itu saja. Jadinya, ia pun mengadopsi sebuah slogan terkenal yang ditelurkan oleh Den Xiaoping, Bapak Reformasi China: Shijian Jiushi Jingian, xiaolu jiushi shengming. Artinya adalah; Waktu Adalah Uang, Efisiensi adalah Kehidupan. 

Lha, di mana perbedaannya? Jelas beda dong. Satu Bahasa Inggris satu lagi beraksara Mandarin.

Tidak heran jika Hoey Beng bekerja sangat efisien. Mencari peluang di mana saja, ngantor kapan saja, transaksi apa saja, dan rebahan di mana saja.

"Lalu, kamu Uya? Apa yang kamu lihat?"

M. Suryadi adalah sahabat karib Chuang sedari kecil. Tinggal di dalam perumahan cina lama di tengah kota, ia juga adalah korban dari 'salah nama.' Akan tetapi, kasus si Uya, demikian panggilannya, sedikit berbeda. Ada sebuah inisial M yang tertera pada akte kelahirannya. Hingga saat ini, takada seorang pun yang tahu apa arti inisial itu. Bahkan, kedua orangtuanya sendiri.

"Tanyalah kepada kakekmu."

"Tapi, beliau sudah meninggal, Ma."

"Siapa suruh papamu suka BBS." Jawab mamanya singkat saat ia menanyakan perkara 'M' yang tertera pada nama depannya. Walaupun Uya tahu kalau mamanya sebenarnya tahu tentang perkara nama misterius itu. Tapi, pada saat itu dan sampai kapan pun itu, mamanya lebih senang mengulik perkara ayahnya yang suka BBS. Alias bobok-bobok siang. Sebuah hakekat yang juga diketahui sebagai 'kaum rebahan.'

Yang tidak Suryadi tahu adalah kejadian 40 tahun yang lalu. Kakeknya yang berwajah totok sengaja membesar-besarkan kelopak matanya saat berbicara dengan seorang petugas tjatatan sipil.

Si kakek tahu, ia bukanlah warga kelas satu. Mereka yang 'dihormati' tidak seharusnya sipit dan berkulit putih. Dalam kasus biasa, kakek Suryadi tidak terlalu peduli. Jika ia sedang berbelanja di pasar atau sedang berkumpul dengan teman-teman yayasan, bahasa Hokkian dengan lancar ia kumadangkan.

Tapi, pada pagi itu, situasinya benar-benar berbeda. Ia sedang menghadapi masalah pelik. Perkara masa depan tjutjunya yang ia sayangi.

"Siapa nama cucumu?" Si petugas bertanya dengan ketus kepada si kakek.

"M. Suryadi, Pak."

"M? Kepanjangannya?"

"M. Saja pak." Si petugas mendelik tajam ke arah kakek Uya. Si kakek tidak mau kalah, Ia balas dengan melebarkan kelopak matanya dan menunjukkan lengan kulitnya yang tidak kalah legam dari si petugas.

"Untungnya, si petugas tidak lagi banyak bertanya. Sebabnya ia juga memiliki insial yang sama. M. Saleh. Kadang ditulis Moch. Saleh, bisa juga disebut dengan Muh. Saleh. Mana-mana saja."

"Oh, 'M' seperti nama saya, ya?" Sikap si petugas berubah ramah. Tangannya dengan lincah melayangkan stempel di atas lembaran biru di hadapannya. Si kakek tersenyum lebar. "Haiya, haiya, kamsia wa." Si kakek kelepasan bicara. Tapi, ia tidak peduli lagi. Buru-buru ia mengambil langkah seribu setelah merebut lembaran biru dari tangan si petugas.

"Eh, aku melihat kamu mengendarai mobil mercy." Jawab Uya terbata-bata. Membuat hidung Chuang kembang-kempis, meskipun ia tahu jika sahabatnya itu berbohong. Namun, tidak sepenuhnya salah. Uya memang melihat si "Chuang" mengendarai mobil merek Mercedes Benz. Tapi, bukan model sedan ataupun SUV. Tapi, jenis bus parawisata.

"Apa yang ia lakukan?" Chuang bertanya lagi.

"Ia terlihat gagah. Pakai jas berwarna hitam lengkap dengan dasi. Aku tidak sempat menyapanya karena ia buru-buru pergi."

"Aku juga melihat "kamu", Chuang." Willi Andy tidak mau kalah. Soal nama, kasus Willi ini berbeda lagi. Jika Hoey Beng diasumsikan sebagai ekstrim kiri, Willi ini adalah contoh ekstrimis kanan. Bisa dilihat dari Namanya. Willi dan Andy, terinspirasi dari nama dua penyanyi barat terkenal tahun 70an; Willie Nelson dan Andy Williams. Tidak ada nama belakang yang merepresentasikan leluhurnya.

"Kamu melihatku di mana?" Chuang bertanya sengit.

"Aku bertemu denganmu dalam mimpiku," imbuh Willi.

"Ha, mimpi? Ngeledek kamu."

"Iya. Engkau memegang tanganku. Begitu erat, begitu mesra," pungkas Willi sambil menutup matanya.

"Jijay, ah." Semua orang yang hadir di sana kompak berseru lantang.

"Lha, sosok yang aku lihat versi perempuan Chuang. Emangnya kenape?" Willi tidak mau kalah. Chuang terdiam, meskipun bayangan wajah versi wanitanya muncul sekilas. Kulit yang lebih putih, bibir tebal berlipstik, dan hidung besar yang sudah jadi bangir. Tapi, Chuang buru-buru melenyapkan wajah itu dari lamunannya.

"Okelah, kalau begitu. Hal ini membuktikan bahwa di luar sana ada kembaranku. Bahasa kerennya adalah doppelgaengger." Chuang mencoba terlihat pintar dengan satu-satunya bahasa Jerman yang ia pahami, mengharapkan pertanyaan selanjutnya.

Semuanya diam, takada yang bersuara. Tapi, justru, Rusli yang bertanya. Perlu diketahui, di antara teman sebayanya, ialah yang paling memiliki nama yang normal. Rusli yang berselera "umum" dan Widjaja hanya untuk golongan "khusus." Perpaduan nama yang ideal bagi warga Tionghoa yang patuh terhadap Keppres 240/1967.

Rusli sering sekali mengalami diskriminasi. Tapi, bukan oleh siapa-siapa. Justru dari lingkar pertemanannya sendiri. Chuang, Hoey Beng, Uya, dan Willi menganggap jika Rusli bukan tipe manusia yang setia kawan.

Selain karena memiliki nama yang paling 'normal,' ia juga sudah beristri. Tidak jomlo lagi. Ditambah lagi, Rusli juga adalah orang Tionghoa yang masih 'murni'. Tidak sama seperti ketiga temannya, Rusli bukanlah Citato; Cina Tanpa Toko.

Rusli mewarisi toko kelontong dari kedua orangtuanya. Terletak di tengah pasar dan menjadi salah satu toko yang paling ramai di kawasannya.

Itulah mengapa jika teman-temannya menganggapnya lain sendiri. Atau lebih tepatnya iri. Rusli Widjaja adalah representase ideal dari warga keturunan Tionghoa di Indonesia.

"Teruskan, kamu melihat apa?" Chuang bertanya acuh tak acuh kepada Rusli.

"Kamu datang ke tokoku kemarin sore, Bro. Kamu beli pispot sangjit yang ada gambar burung hong-nya."

"Ah, gila kamu." Chuang masih belum percaya dengan omongan Rusli.

"Tapi, aku sempat berbicara dengan kamu. Kamu justru tidak menolak saat aku panggil namamu. Kamu juga banyak bercerita tentang kejadian-kejadian yang kita alami bersama. Awalnya, aku tidak mau membocorkan hal ini, terkait privasi pelanggan. Tapi, barusan kamu justru cerita kalau kamu bertengkar dengan ibumu gegara soal pacar. Jujur, aku bingung, Bro"

Kali ini sudah bukan Chuang yang tidak mempercayai cerita Rusli. Tapi, justru teman-temannya yang berbalik arah.

"Artinya benar, kamu sudah punya pacar?" Hoey Beng mendelik ke arah Chuang. Ia terlihat tidak senang, karena salah satu kawannya juga akan mengakhiri masa jomlonya.

"Kagak lah. Yang datang ke toko si Rusli itu jelas kembaranku. Sama seperti yang kalian lihat kemarin." Chuang berlagak marah. Meskipun, ia juga terlihat sedikit gugup. Teman-temannya tidak mau begitu saja mempercayai sanggahan Chuang.

"Lalu, apa yang "Chuang" bilang ke kamu lagi, Rus. Dengan siapa ia akan menikah?" Uya melayangkan pertanyaan ke Rusli.

"Eh, si Chuang palsu itu bilang kalau sebentar lagi ia akan menikah dengan seorang wanita yang masih ia rahasiakan. Tapi...."

"Tapi, apa?" Chuang meninggikan suaranya. Mencoba mencari posisi aman agar ia tidak dicurigai oleh teman-temannya.

"Si Chuang palsu menyebut ciri-cirinya. Wajahnya agak jutek, rambutnya pendek, berjalan seperti bebek, dan saban pagi lewat di depan rumahmu, Chuang."

"Lha, siapa? Emang ada?" Willi berbalik bertanya kepada si Chuang yang terkesiap mendengar perkataan Rusli.

"Eh. Jelas tidak ada lah." Chuang berkata dengan tegas. Padahal, jauh di dalam lubuk hatinya, darah berdesir kencang. Ia tahu siapa wanita yang dimaksud Rusli. Siapa wanita dengan wajah jutek, rambut pendek, dan berjalan seperti bebek itu. Hanya dia satu-satunya dan tiada yang lain lagi. []

**

Acek Rudy for Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun