Tidak heran jika Hoey Beng bekerja sangat efisien. Mencari peluang di mana saja, ngantor kapan saja, transaksi apa saja, dan rebahan di mana saja.
"Lalu, kamu Uya? Apa yang kamu lihat?"
M. Suryadi adalah sahabat karib Chuang sedari kecil. Tinggal di dalam perumahan cina lama di tengah kota, ia juga adalah korban dari 'salah nama.' Akan tetapi, kasus si Uya, demikian panggilannya, sedikit berbeda. Ada sebuah inisial M yang tertera pada akte kelahirannya. Hingga saat ini, takada seorang pun yang tahu apa arti inisial itu. Bahkan, kedua orangtuanya sendiri.
"Tanyalah kepada kakekmu."
"Tapi, beliau sudah meninggal, Ma."
"Siapa suruh papamu suka BBS." Jawab mamanya singkat saat ia menanyakan perkara 'M' yang tertera pada nama depannya. Walaupun Uya tahu kalau mamanya sebenarnya tahu tentang perkara nama misterius itu. Tapi, pada saat itu dan sampai kapan pun itu, mamanya lebih senang mengulik perkara ayahnya yang suka BBS. Alias bobok-bobok siang. Sebuah hakekat yang juga diketahui sebagai 'kaum rebahan.'
Yang tidak Suryadi tahu adalah kejadian 40 tahun yang lalu. Kakeknya yang berwajah totok sengaja membesar-besarkan kelopak matanya saat berbicara dengan seorang petugas tjatatan sipil.
Si kakek tahu, ia bukanlah warga kelas satu. Mereka yang 'dihormati' tidak seharusnya sipit dan berkulit putih. Dalam kasus biasa, kakek Suryadi tidak terlalu peduli. Jika ia sedang berbelanja di pasar atau sedang berkumpul dengan teman-teman yayasan, bahasa Hokkian dengan lancar ia kumadangkan.
Tapi, pada pagi itu, situasinya benar-benar berbeda. Ia sedang menghadapi masalah pelik. Perkara masa depan tjutjunya yang ia sayangi.
"Siapa nama cucumu?" Si petugas bertanya dengan ketus kepada si kakek.
"M. Suryadi, Pak."