Ada sesuatu yang tidak biasa di dalam rumah bakmi itu. Saat melewati pintu masuk, pelanggan akan disuguhkan dengan pegelaran konser rock. Namun, bukan seperti yang biasa berlangsung di Jakarta International Stadium. Bukan juga nyanyian merdu dari Jon Bon Jovi. Tapi, bunyi itu berasal dari seorang perempuan paruh baya, pemilik Rumah Bakmi 'Hao' di Kawasan Jakarta Barat.
Ia sedang memarahi anaknya yang masih menjomlo.
Anaknya bernama Sinsabar. Hanya itu saja. Tanpa nama belakang. Karena memang itu yang diinginkan oleh kedua orangtuanya. "Buat apa panjang-panjang jika bisa dibikin pendek. Lagipula, Engkong kamu sudah berjibaku selama 100 hari untuk mencari namamu."
Bukan perkara wangsit ataupun perhitungan pei-jit. Masalahnya karena Pak Haji Nurdin. Ialah penyebabnya.
Si Engkong, kakeknya Sinsabar selalu terlihat sumrigah setiap kali berkunjung ke rumah Pak RT itu. Sebabnya, saban pagi, pak Haji Nurdin yang baik hati senang membaca koran. Dengan cara yang tidak biasa. Cara yang diminta oleh si Engkong; Membacanya keras-keras. Dengan cara seperti itu, si Engkong akhirnya bisa mengetahui perkembangan berita. Tanpa harus membeli koran.
Selain karena ia pelit, si Engkong juga buta huruf.
Lalu, ketika perhitungan bulan di dalam perut mama Sinsabar sudah kurang dari 90 hari, si Engkong mulai panik. Ia termakan sumpahnya sendiri, "Sebelum dewa dapur menyambut kelahiran cucu pertamaku, nama Indonesianya harus sudah ada."
Si Engkong ogah permintaan anak lelakinya untuk memberikan nama Indonesia kepada cucu pertamanya. Ia juga menolak mendapatkan masukan dari keluarga-keluarga yang lebih terpelajar. "Aku sudah berjanji kepada sahabatku, Bapak Haji Nurdin. Ialah yang layak memberikan nama kepada cucuku nanti." Demikianlah ia berseru lantang.
Lalu menjelang kelahiran cucu pertamanya, si Engkong mulai panik. Sebabnya pak Haji Nurdin belum juga kembali dari Tanah Suci. Berulang kali ia menyobek almanak di dinding, berulang kali pula ia merasa pening.
Teringat janjinya kepada sang dewa dapur.
Untungnya, pak Haji Nurdin pulang tepat waktu. Yakni pada saat mama Sinsabar sedang dibawa lari ke rumah sakit. Keluarga Sinsabar berpapasan dengan rombongan pak Haji yang barusan pulang umroh. Sontak saja si Engkong berjingkrak-jingkrak kegirangan. Tanpa membuang waktu lagi, ia segera berlari menghampiri Pak Haji, sahabatnya.
"Pak Haji, owe minta nama untuk cucu pertamaku."
"Sek... Sek... Seng Sabar yo."
"Haiya.... Kamsia, kamsia, Pak Haji." Ujar si Engkong sambil berlari mengejar becak yang membawa menantunya ke rumah sakit. Dari sanalah nama Sinsabar berasal. Lengkap dengan nama marga Tionghoanya; Marga Yo. Menjadikan nama lengkapnya sebagai; Sinsabar Yo.
Akan tetapi, di dalam akte kelahirannya, Yo tidak digunakan. Selain karena si Engkong lupa mendaftarkannya di catatan sipil, ia juga beralasan bahwa nama marga seharusnya tertera pada inisial tiga huruf. Yo Siong Chuang.
Meskipun ia tahu jika namanya didapatkan dengan penuh perjuangan dan pengorbanan, Sinsabar tidak terlalu menyukai namanya. Ia tahu, nama itu berasal dari kecelakaan perspektif. Sinsabar lebih senang orang-orang memanggilnya dengan nama kecilnya; Chuang.
Tapi bukan hanya Chuang saja. Kalau mau lebih lengkap, bisa juga Chuang Bali.
"Kenapa?" Itu gegara Leak.
Ya, benar. Leak, makhluk jejadian yang selalu menemaninya bermain bersama anak-anak tetangga di kompleks perumahannya. Saat ia kecil dulu, Chuang sangat identik dengan baju longgar bewarna putih. Lengkap dengan gambar Leak dan tulisan Bali. Jadilah, Chuang Bali.
Itu pun karena Chuang Leak terdengar menyeramkan.
Tunggu dulu. Itu adalah kisah 38 tahun yang lalu. Apakah yang terjadi saat ini di dalam Rumah Bakmi Hao? Mamanya sedang misuh-misuh. Dan, Chuang yang menjadi sasaran. Mamanya tahu jika sebentar lagi imlek akan tiba. Artinya, sebentar lagi putra tunggalnya akan genap berusia 40 tahun.
Chuang tidak mau membantahnya, meskipun tahun ini ia baru berusia 38 tahun. Itu karena ia tahu perhitungan usia orang Cina, selalu harus ditambahkan dengan satu. Saat lahir, semua bayi Cina sudah dianggap berusia setahun.
Tapi, kemarahan sang ibu pada pagi itu bukan karena usia anaknya. Bukan pula karena anaknya lupa membeli kertas angpao dari Pasar Baru. Ia marah karena anaknya tidak mau mengaku salah. Menolak bahwa ia sudah punya pacar.
Chuang ngotot. Ia bahkan sampai harus berlutut, bersumpah di depan altar leluhurnya bahwa ia belum punya pacar. Akan tetapi, ibunya tetap saja tidak percaya.
"Kemarin Mama lihat kamu bergandengan dengan seorang wanita berbaju merah di depan kantormu."
"Kata siapa, Ma? Kemarin Chuang tidak berada di kantor. Chuang sibuk keliling pelanggan menawarkan produk terbaru."
"Jangan bohong kamu, Chuang. Mama melihat dengan mata kepala sendiri."
Tentu saja Chuang tahu jika Mamanya selalu benar. Ia lebih memilih diam daripada harus mendengar omelan. Tapi, kali ini ia tahu kalau Mamanya salah. Sebabnya, ia memang belum punya pacar.
Atau jangan-jangan...
Doppelganger. Berasal dari Bahasa Jerman. Artinya adalah ganda (doppel) dan pejalan (gangger). Secara harafiah adalah penampakan dari seseorang yang masih hidup dan bukan dirinya. Umum diartikan sebagai orang lain yang memiliki wajah, bentuk badan, bahkan tingkah laku yang sangat mirip dengan diri seseorang.
Awalnya Chuang merasa biasa-biasa saja. Ia juga pernah melihat seorang wanita yang mirip dengan mantan pacarnya. Begitu juga dengan seorang wanita lainnya yang mirip dengan idolanya; Inul Darastita. Tapi, semakin hari, informasi itu semakin menganggu.
Bukan saja hanya mamanya yang mengaku melihat Chuang berjalan dengan seorang wanita, tetapi teman-temannya juga mengaku demikian. Mereka sering melihat Chuang dalam berbagai versi. Di mal, di Cafe, bahkan sebagai seorang driver ojol.
Chuang pernah mendengarkan teori yang mengatakan bahwa di dunia ini, setiap manusia mempunyai tujuh Doppelgangger. Tapi, itu di seluruh dunia. Mustahil jika seluruhnya berada di Indonesia. Berkumpul di Jakarta pula. Lagipula, dengan pengakuan terakhir dari mamanya, itu sudah kabar kesepuluh dalam tempo kurang dari satu minggu.
Apa yang terjadi?
Chuang juga pernah membaca sebuah artikel. Bahwa Ratu Elizabeth I pernah bertemu dengan kembarannya sesaat sebelum ia meninggal. Begitu juga dengan Presiden Amerika Serikat, Abraham Lincoln. Kedua-duanya meninggal dalam kurun waktu seminggu setelah pertemuan.
Chuang lalu merenung. Apakah umurnya tidak akan lewat dari seminggu? Jika iya, tidak heran mamanya marah-marah. Mungkin saja bundanya itu sudah mendapatkan firasat. Untungnya si Chuang belum pernah bertemu langsung dengan doppelgangger-nya. Tapi, itu hanyalah perkara waktu. Chuang yakin akan hal itu.
Dan, dari sinilah, petualangan ini dimulai. []
**
Acek Rudy for Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H