"Anda harus mencontohi orang-orang yang menciptakan perdamaian. Jangan mengambil contoh dari mereka yang senang membunuh."
Ini adalah kutipan dari Dalai Lama ke-14 dalam Bahasa Inggris yang terbata-bata. Saya lihat dari sebuah video yang berasal dari sebuah akun youtube bernama JigJag.
Video tersebut diambil pada tanggal 21 Maret 2023. Video yang sama yang beredar dan kemudian menjadi viral. Tentang aksi dari Dalai Lama yang meminta seorang bocah India berusia 5 tahun untuk "isap lidahku."
Bedanya, vido yang kulihat pagi ini tanpa suntingan.
Seperti yang telah kita ketahui bersama, aksi Dalai Lama tersebut menuai kecaman. Dianggap tidak pantas dan ujung-ujungnya tidak mulia. Lebih parah lagi disamakan dengan aksi kejahatan pedofil.
Rangkaian video "pembelaan" tersebut penulis dikirim di grup perpesanan tanpa caption pembelaan. Si pengirim hanya meminta untuk menontonnya. Seutuhnya.
Apa yang terjadi?
Reaksi pertama dari saya adalah mencoba membaca tulisan yang sudah kutuliskan sehari sebelumnya. Judulnya, Tentang Aksi Viral Dalai Lama, "Isap Lidahku."
Saya mengulik kembali, apakah tulisan saya netral? Dalam arti (benar-benar) tidak menghujat atau membela? Sekilas, iya. Saya hanya menuliskan tentang siapa Dalai Lama, tentang ajaran Buddhis, dan pendapat saya pribadi tentang moralitas. Cukup netral dan tidak ada tendensi.
Namun sejujurnya, artikel tersebut saya buat dengan ketimpangan. Ada dua hal yang menyebabkan artikel tersebut tidak seimbang. Yang pertama karena tidak berasal dari video utuh. Yang kedua, tidak melihat tentang esensi moralitas dari sudut pandang berbeda. Tidak melihat "pembelaan" dari Dalai Lama dan rakyat Tibet dari kacamata mereka sendiri.
Jujur, saya kehilangan itu.
Lalu, saya menilik lebih tajam lagi. Melihat jauh ke dalam, meraba-raba bagaimana suasana batinku saat menuliskan artikel sebelumnya.
Ada kebencian!
Bukan benci dalam arti emosi yang meluap-lupa. Tapi, penolakan atas sikap tidak biasa dari Dalai Lama. Bagi saya yang tinggal di Indonesia, mengisap lidah bocah adalah hal yang tidak pantas. Demikian pula pendapat dari seluruh rangkaian "hujatan" yang beredar di dunia maya.
"Itu salah," kata mereka dari kacamata norma yang berlaku umum.
Dan, setelah saya pertimbangkan lebih dalam lagi. Saya semakin yakin jika saya benar. Saya merasa pemikiran saya benar. Itu karena ada pemicunya. Berasal permintaan maaf dari Dalai Lama.
Sebuah proses kognitif yang primitif. Jika salah, maka harus minta maaf. Jika sudah minta maaf, artinya sudah melakukan kesalahan.
Lebih dalam lagi, permintaan maaf adalah sebuah kemewahan di dunia modern ini. Para pejabat yang korup tidak akan minta maaf, meskipun sudah berbuat salah. Atau, mungkin mereka dilatih demikian. Karena permintaan maaf akan menunjukkan kelemahan. Berakhir dengan hukuman.
Dengan tendensi seperti itu, saya mencoba untuk melihat dari sisi yang berbeda. Bagaimana jika Dalai Lama meminta maaf bukan karena kesalahannya. Bukan berarti beliau tidak melakukan kesalahan.
Tapi, meminjam pandangan monistik dari teman-teman agama lain. Bahwa ada Nabi, orang suci, atau juru selamat di dunia ini yang mengambil alih kesalahan manusia melalui pengorbanan yang besar.
Saya cukup terkesima dengan sekelebat pemikiran yang menghampiriku pada pagi ini.
Oke, bisa saja saya mengada-ada. Memang Dalai Lama merasa bersalah, jauh di dalam hatinya yang terdalam. Sehingga permintaan maaf adalah refleksi dari "pertobatannya."
Tapi, nyatanya tidak ada pembelaan lanjutan.
Tidak ada video viral dari pihak Dalai Lama, pendukungnya, ataupun dari rakyat dan pemerintah Tibet.
Bagi saya ini tidak biasa. Setidaknya karena harapan saya seperti di Indonesia. Pada saat dua tokoh besar saling menyerang. Aksi bela membela ramai terjadi. Tapi, dalam kasus insiden Dalai Lama ini tidak demikian.
Mengapa demikian?
Menurut saya, (mungkin saja) permintaan maaf dari Dalai Lama adalah sebuah statement yang agung. "Cukup sampai di sini saja. Biarlah mereka memandangku berdasarkan interpretasinya sendiri. Tidak perlu menambah pupuk yang subur atas konflik yang sudah terjadi."
Utamakan perdamaian.
Sebagaimana tema acara pada saat insiden tersebut terjadi. Pada saat itu Dalai Lama sedang menjadi pembicara. Menyampaikan pesan kepada sekitar 200 lulusan sarjana India. Mengajarkan mereka tentang perilaku welas asih dan perdamaian.
Tidak heran, jika aksinya kepada bocah tersebut juga bernuansa senada. Rangkaian video utuh tersebut bukan saja tentang "isap lidahku." Tapi, juga ada adegan memeluk, merapatkan pipi, menggelitik, melengketkan dahi, dan nasehat yang isinya telah aku tuliskan pada pembukaan artikel ini.
Ini bukan tentang Buddhisme. Ya, benar. Bukan tentang Buddhisme. Meskipun saya akan menambahkan sebuah cerita Buddhis yang saya dengar dari seorang Bhante di Grup Penulis Mettasik. Isinya kira-kira seperti ini;
Alkisah ada seorang Bhikku. Ia sedang melatih diri, bermeditasi di hutan. Jauh dari keramaian, dekat dengan bahaya. Hingga suatu hari, untuk sebuah alasan praktis, si bhikkhu tersebut akhirnya menimbun makanan yang ia terima dari hasil sumbangan umatnya.
Dalam Vinaya (aturan) kebhikkhu-an, perilaku itu salah. Mencegah perilaku ketamakan. Lalu, "video viral" pun muncul. Netizen ala zaman sang Buddha pun melayangkan tuduhan. Tiada kata yang lebih indah dari "RAKUS!!!"
Si Bhikkhu tidak punya dalil. Kenyataan bahwa aksinya sudah menimbulkan kehebohan. Itu sudah terjadi. Dan, itu benar. Ia pun minta maaf.
Menonton video setengah-setengah, sama dengan mengabaikan alasan sang Biksu bahwa "menimbun" makanan agar pelatihan dirinya bisa menjari lebih baik. Tidak perlu menempuh jarak berpuluh-puluh kilometer untuk mendapatkan dana dari umat. Itu belum termasuk ancaman binatang buas di tengah hutan.
Ah, saya jadi ingat masa kecilku. Lahir di keluarga Tionghoa. Saat aku kecil, Cipiki-Cipika adalah hal yang "menjijikkan." Tapi, seiring tumbuh kembangku, aksi tersebut menjadi biasa setelah bergaul dengan kawan-kawan dari suku lain.
Mungkin saja mama tidak senang, karena ia berpikiran Cina Totok. Tapi, saya tidak peduli. Karena itu saya namakan hal tersebut dengan peleburan budaya. Kearifan lokal yang harus dianut, karena baik adanya.
Apalagi jika mama tidak melarang. Mungkin saja saya sudah menjadi tukang "Cipika-cipiki." Karena memang saya suka dengan aksi itu.
Sebagaimana anak yang menjadi "korban isap lidahku." Ada banyak pernyataan empati tentang bagaimana perasaan orangtua si anak, melihat Dalai Lama melecehkannya. Dalam kenyataan, si ibu hadir di acara. Ia terlihat kaget dan senang bukan kepalang ketika si anak melakukan aksi "tak senonoh" itu dengan Dalai Lama.
Ada pancaran keharuan di sana. Ada sinar kedamaian di sana. Tersirat kebanggan. Tentang si anak yang sudah memahami arti dari kedamaian batin. Menjadi dewasa dengan cara yang tidak biasa. Menjadi dewasa dengan cara yang tidak layak bagi sebagian orang.
Terlalu aneh, sehingga Dalai Lama pun harus meminta maaf.
Saya tidak mau terlalu banyak berkomentar lagi. Saya hanya berharap agar mama saya tidak menonton video itu. Sehingga akhirnya dia melarang saya untuk "Cipiki-cipika" lagi.
Ah, mana tahan eike.
**
Acek Rudy for Kompasiana
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI