Oke, bisa saja saya mengada-ada. Memang Dalai Lama merasa bersalah, jauh di dalam hatinya yang terdalam. Sehingga permintaan maaf adalah refleksi dari "pertobatannya."
Tapi, nyatanya tidak ada pembelaan lanjutan.
Tidak ada video viral dari pihak Dalai Lama, pendukungnya, ataupun dari rakyat dan pemerintah Tibet.
Bagi saya ini tidak biasa. Setidaknya karena harapan saya seperti di Indonesia. Pada saat dua tokoh besar saling menyerang. Aksi bela membela ramai terjadi. Tapi, dalam kasus insiden Dalai Lama ini tidak demikian.
Mengapa demikian?
Menurut saya, (mungkin saja) permintaan maaf dari Dalai Lama adalah sebuah statement yang agung. "Cukup sampai di sini saja. Biarlah mereka memandangku berdasarkan interpretasinya sendiri. Tidak perlu menambah pupuk yang subur atas konflik yang sudah terjadi."
Utamakan perdamaian.
Sebagaimana tema acara pada saat insiden tersebut terjadi. Pada saat itu Dalai Lama sedang menjadi pembicara. Menyampaikan pesan kepada sekitar 200 lulusan sarjana India. Mengajarkan mereka tentang perilaku welas asih dan perdamaian.
Tidak heran, jika aksinya kepada bocah tersebut juga bernuansa senada. Rangkaian video utuh tersebut bukan saja tentang "isap lidahku." Tapi, juga ada adegan memeluk, merapatkan pipi, menggelitik, melengketkan dahi, dan nasehat yang isinya telah aku tuliskan pada pembukaan artikel ini.
Ini bukan tentang Buddhisme. Ya, benar. Bukan tentang Buddhisme. Meskipun saya akan menambahkan sebuah cerita Buddhis yang saya dengar dari seorang Bhante di Grup Penulis Mettasik. Isinya kira-kira seperti ini;
Alkisah ada seorang Bhikku. Ia sedang melatih diri, bermeditasi di hutan. Jauh dari keramaian, dekat dengan bahaya. Hingga suatu hari, untuk sebuah alasan praktis, si bhikkhu tersebut akhirnya menimbun makanan yang ia terima dari hasil sumbangan umatnya.