Jujur, saya kehilangan itu.
Lalu, saya menilik lebih tajam lagi. Melihat jauh ke dalam, meraba-raba bagaimana suasana batinku saat menuliskan artikel sebelumnya.
Ada kebencian!
Bukan benci dalam arti emosi yang meluap-lupa. Tapi, penolakan atas sikap tidak biasa dari Dalai Lama. Bagi saya yang tinggal di Indonesia, mengisap lidah bocah adalah hal yang tidak pantas. Demikian pula pendapat dari seluruh rangkaian "hujatan" yang beredar di dunia maya.
"Itu salah," kata mereka dari kacamata norma yang berlaku umum.
Dan, setelah saya pertimbangkan lebih dalam lagi. Saya semakin yakin jika saya benar. Saya merasa pemikiran saya benar. Itu karena ada pemicunya. Berasal permintaan maaf dari Dalai Lama.
Sebuah proses kognitif yang primitif. Jika salah, maka harus minta maaf. Jika sudah minta maaf, artinya sudah melakukan kesalahan.
Lebih dalam lagi, permintaan maaf adalah sebuah kemewahan di dunia modern ini. Para pejabat yang korup tidak akan minta maaf, meskipun sudah berbuat salah. Atau, mungkin mereka dilatih demikian. Karena permintaan maaf akan menunjukkan kelemahan. Berakhir dengan hukuman.
Dengan tendensi seperti itu, saya mencoba untuk melihat dari sisi yang berbeda. Bagaimana jika Dalai Lama meminta maaf bukan karena kesalahannya. Bukan berarti beliau tidak melakukan kesalahan.
Tapi, meminjam pandangan monistik dari teman-teman agama lain. Bahwa ada Nabi, orang suci, atau juru selamat di dunia ini yang mengambil alih kesalahan manusia melalui pengorbanan yang besar.
Saya cukup terkesima dengan sekelebat pemikiran yang menghampiriku pada pagi ini.