Ini adalah opini penulis tentang kasus yang sedang viral saat ini. Mengenai aksi Dalai Lama yang menghebohkan publik. Usai beliau meminta seorang bocah "menghisap lidahnya."
Berbagai macam komentar berseliweran di media sosial. Sebagian mencoba memahami sikap pemimpin agama Buddha Tibet tersebut. Beberapa menyayangkannya, tetapi, lebih banyak yang menghujat. Menghubungkan aksinya dengan sesuatu yang memalukan; Pelecehan seksual terhadap bocah di bawah umur.
Di beberapa grup perpesanan Buddhis, kasus ini juga ramai dibahas. Sebagian hanya memposting video tersebut tanpa komentar. Sebagian lagi menganggap itu memalukan. Tapi, ada juga yang mencoba memahami. Atau, lebih tepatnya membela.
Apakah Dalai Lama adalah tokoh spiritual panutan? Ya, itu benar. Apakah Dalai Lama mewakili umat Buddha? Ya, tidak salah juga. Apakah aksinya mewakili ajaran Buddha? Alih-alih memberikan jawaban singkat "ya atau tidak," penulis lebih memilih jawaban panjang melalui artikel ini.
Harus dipahami bahwa umat Buddha itu majemuk. Terdiri dari beberapa mazhab berbeda. Ada Theravada, Mahayana, dan juga Tantrayana. Dalai lama adalah salah satu tokoh penting sekte Tantrayana (Buddha Tibet). Meskipun demikian, beliau bukanlah pemimpin tertinggi sekte Tantrayana.
Ada empat aliran utama Buddha Tibet. Salah satu yang terbesar adalah Gelug. Aliran ini merupakan tempat institusi Dalai Lama berasal. Dan, beliau bukanlah pemimpin tertinggi di sana. Kepala dari aluran Gelug diberi gelar Ganden Tripa. Saat ini dipegang oleh seorang biksu bernama Thubten Nyima Lungtok Tenzin Norbu.
Hanya saja, harus diakui bahwa posisi Dalai Lama lebih berpengaruh. Sudah sejak lama. Semenjak Dalai Lama ke-5, Lobsang Gyatso (1617-1682) masuk ke dalam arena politik dengan mendirikan organisasi Ganden Podrang, semacam pemerintah sipil Tibet yang mempersatukan rakyat tibet dari pengaruh sekuler Pangeran Tsangpa.
Begitu pula dengan Dalai Lama ke-14. Ia juga menjadi terkenal karena kiprahnya di dunia politik. Memimpin pemberontakan rakyat Tibet tahun 1959, menjadi pemimpin penguasa sipil, dengan menentang kekuasaan pemerintah China. Hingga akhirnya memenangkan hadiah nobel perdamaian pada 1989.
Jadi, Kembali ke laptop. Apakah aksi Dalai Lama mewakili ajaran Buddha?
Ajaran Buddha itu luas. Begitu luasnya sehingga penulis sendiri sebagai umat Buddha tidak paham seutuhnya. Kendati demikian, ada beberapa hal dasar yang penulis ketahui. Ajaran dasar yang penulis coba praktikkan untuk menjadi seorang umat Buddha yang lebih baik.
Penulis mengenal ada Pancasila Buddhis. Ini terkait kemoralan. Terdiri dari lima hal yang menjadi panutan sehari-hari. Yakni, tidak membunuh, tidak mencuri, tidak melakukan perbuatan asusila, tidak berkata dusta, dan menghindari makanan atau minuman yang menghilangkan kesadaran diri.
Selain Pancasila Buddhis, ada juga Empat Kesunyataan Mulia. Menjelaskan tentang adanya penderitaan (dukkha), sebab penderitaan, kebenaran tentang lenyapnya penderitaan, dan jalan berunsur delapan atas lenyapnya penderitaan.
Jalan Mulia Berunsur Delapan sendiri dari tiga kelompok. Yakni, Kelompok Kebijaksanaan (pandangan benar, pikiran benar). Kelompok Kemoralan (ucapan benar, perbuatan benar, dan penghidupan benar). Dan, Kelompok Konsentrasi (usaha benar, perhatian benar).
Catatan: Silahkan mengulik dunia maya jika ingin tahu lebih dalam tentang Pancasila Buddhis, Empat Kesunyataan Mulia, dan Jalan Mulia Berunsur Delapan.
Ajaran Buddhis tidak saja tentang bagaimana melatih diri untuk menjadi orang yang lebih baik. Tapi, ia memiliki dampak yang lebih luas. Terhadap manusia, makhluk lainnya, dan juga alam semesta. Singkatnya, tidak sepatutnya seorang Buddhis melakukan aksi-aksi yang bisa menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi lingkungan, maupun dunia. Apalagi sampai menyakitinya.
Sesederhana itu saja. Sesingkat itu saja. penulis tidak berpanjang lebar lagi, karena memang pemahaman Buddhis penulis masih sangat terbatas. Namun, dalam keterbatasan ini penulis berharap bisa memberikan sedikit pemahaman terhadap aksi dari Dalai Lama.
Mungkin banyak yang berdalih jika beliau hanya bercanda saja. Banyak yang mengemukakan jika beliau tidak bermaksud jahat. Banyak juga yang beralasan jika menjulurkan lidah (bukan menghisap lidah) adalah bagian dari tradisi Tibet yang sakral.
Dan, itu termasuk dalih di belakang aksi Dalai Lama. Penulis sendiri tidak memahami "aturan main" dalam mazhab Tantrayana. Melihat sepotong-potong, lalu memberikan opini pendukung, tentu tidaklah bijak. Ada tradisi (dan ini berlaku bagi beragam suku, budaya, dan agama) tentang hal pantas dan tidak pantas. Ada baiknya kita ulik lebih dalam lagi. Tentang hal yang "pantas" atau tidak tersebut. Dan, satu-satunya cara untuk mengetahuinya memang rada susah. Yakni, dengan memahami isi kepala dan hati dari Dalai Lama itu sendiri. Sesuatu yang kita sebut dengan niat awal. Hanya Dalai Lama yang bisa menjawabnya.
Tapi, tetap saja. Menurut penulis pribadi, seorang Buddhis harus bisa menjaga pikiran, ucapan, dan tindakannya. Jika itu baik, silahkan dilanjutkan. Tapi, jika itu tidak bagus, apalagi tidak bermanfaat, sebaiknya pikir-pikir dulu.
Dan, untuk menopang diri kita agar tidak melakukan hal yang salah, maka kesadaran itu penting. Sesuatu yang kita sebut sebagai "selalu berada dalam tahap meditatif." Sederhananya; Sadar setiap saat -- setiap saat sadar.
Opini ini tidak berlaku bagi Dalai Lama saja, tetapi juga bagi seluruh orang, seluruh warganet yang telah melayangkan opini. Termasuk diri penulis sendiri.
Atas insiden tersebut, jelas Dalai Lama merasa bersalah. Jika tidak, permintaan maaf tidak akan ia layangkan. Dan, ini adalah sebuah sikap yang luar biasa dari seseorang yang memiliki pengaruh besar di dunia.
Lalu, sebagai umat Buddha apa yang harus penulis lakukan?
Bukan berdebat, penulis tidak ingin menghujat. Jangan membenci. Tidak perlu juga membela mati-matian. Penulis menerima kenyataan bahwa ada salah satu tokoh yang mewakili Buddhis yang telah berbuat kesalahan. Setidaknya bagi orang-orang yang menganggap aksinya tidak bermoral. Kenyatannya memang seperti itu. Menyadarkan diri, bahwa manusia tidak luput dari kesalahan. Menjadi pelajaran bahwa kesadaran adalah hal yang sangat penting. Kendati demikian, pandangan penulis terhadap ajaran luhur agama Buddha sama sekali tidak berubah. Agama adalah ajaran, bukan tentang tokohnya.
Penulis setuju dengan pernyataan Deddy Corbuzier dalam podcastnya tentang kasus ini. Ia mengatakan jika agama dan logika seharusnya menjadi dua hal yang berjalan beriringan. Bagaimana pun juga kejahatan adalah kejahatan. Terlepas dari siapa pun yang melakukan, kejahatan itu terkadang memiliki topeng, tapi seyogyanya tidak memiliki tameng. Â
Penulis hanya ingin menambahkan sedikit opini terhadap komentar Deddy Corbuzier. Benar, agama dan logika adalah dua hal yang seharusnya jalan beriringan. Tapi, jangan lupa sebuah unsur perekat di dalamnya; Moralitas.
**
Acek Rudy for Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H