Imlek identik dengan tarian Barongsai. Sayangnya jika kamu, kamu, dan kamu berkunjung ke luar negeri, tidak ada Barongsai di sana.
Bukannya tidak ada sih. Di negara aslinya, kesenian ini bernama Wu Shi. Arti harfiahnya adalah Tarian Singa. Begitu pula dengan bahasa londonya, Lion Dance. Itu yang umum dipahami.
Dengan demikian maka Barongsai sendiri berarti Tarian Singa bukan?
Ternyata tidak. Dan itulah kebingunganku.
Kata "Sai" berasal dari dialek Hokkian, artinya adalah singa. Sementara "Barong" bukanlah tarian, tetapi diadopsi dari seni tari Bali dengan arti yang sama -- Barong (atau Barongan).
Nah, dikutip dari berbagai sumber, berdasarkan cerita rakyat setempat, konon Barong adalah sosok protagonis yang melambangkan pertempuran melawan kekuatan iblis yang bernama Rangda.
Dengan demikian, secara harfiah Barongsai bisa berarti "Singa versi Barongan China." Bukankah demikian?
Ah, tidak perlulah bingung. Bisa saja pencipta istilah itu tertarik untuk menggabungkan budaya Tionghoa dengan Indonesia. Dan itu cukup lazim terjadi di bumi Nusantara kita yang tercinta ini. Yang pasti, istilah Barongsai memang hanya dikenal di Indonesia dan hanya milik Indonesia.
Dan memang demikian adanya. Meskipun ia dikenal dengan banyak nama di seantero dunia, tetapi kesenian Barongsai telah ditetapkan sebagai salah satu Warisan Budaya Takbenda Indonesia pada tahun 2010 silam. Ia diakui sebagai salah satu wujud pembauran budaya Tionghoa di Indonesia.
Tarian Barongsai memang adalah tarian tradisional China. Ia sudah eksis selama ribuan tahun. Dan ia memang juga sangat identik dengan imlek, meskipun pada beberapa perayaan besar, tarian ini juga seringkali diperagakan.
Pernah mendengar legenda monster "Nian?"
Itu lho, monster jahat yang seringkali datang meneror manusia di zaman dahulu menjelang musim semi. Konon tradisi perayaan imlek muncul dari legenda tersebut.
Jadi, ceritanya demikian;
Alkisah di sebuah desa, setiap kali musim semi menjelang, monster Nian pun datang. Keinginannya tidak kira-kira. Mengambil nyawa-nyawa penduduk desa dan menjadikannya persediaan makanan selama setahun.
Lalu, pada suatu hari muncullah seorang kakek bijaksana yang mengaku bisa menghalau teror monster Nian. Ia meminta warga desa untuk mengecat pintu rumahnya dengan warna merah dan membuat kegaduhan saat monster Nian datang menyerang.
Ternyata berhasil! Itulah mengapa imlek identik dengan warna merah dan juga petasan.
Awalnya saya mengira bahwa legenda Monster Nian hanya itu saja. Namun, ternyata ada sekuelnya. Konon si monster ini bukan hanya suka mengusik desa, memakan manusia, tetapi ia juga suka menghancurkan ladang, hewan, dan persediaan makanan milik manusia.
Tapi, penduduk desa tidak kehilangan akal. Mereka membuat singa-singaan dari bambu dan kain yang digerakkan oleh dua orang. Untuk membuatnya terdengar sangar, pemukulan instrumen yang keras pun mengiringi. Â
Lalu, mengapa singa?
Karena bagi nenek moyang orang Tionghoa, singa tiada bedanya dengan naga. Sama-sama hewan mitologi. Hanya sedikit manusia yang pernah melihatnya.
Lha, kok bisa?
Itu karena keberadaan singa sangatlah jarang sebelum masa Dinasti Han. Sebelum jalur sutera menjadi ramai. Tak heran jika singa kemudian mendapatkan posisi yang sama dengan makhluk naga. Sama-sama sebagai makhluk surgawi.
Dan tidak heran pula jika singa yang diadopsi dalam wujud tarian Barongsai memiliki ciri khas yang unik. Ciri-ciri yang berasal dari gabungan beberapa jenis hewan dengan makna filosofis yang berbeda-beda;
Singa Barongsai memiliki tanduk yang menyerupai jambul burung. Ia merupakan simbol kehidupan dan mewakili unsur kelembutan. Lalu, ada telinga dan ekor singa. Mewakili kebijaksanaan dan keberuntungan. Punuk di belakang kepala menyerupai kura-kura. Itu adalah perlambangan kesehatan dan usia panjang.
Dagu dan jenggot menyerupai naga. Mewakili kewibawaan dan kepemimpinan. Terakhir adalah tulang belakang yang diadopsi dari model sisik ular. Hal ini mewakili kekayaan dan kemakmuran.
Tidak heran jika Barongsai memiliki semua makna-makna kebaikan besertanya. Begitu pula dengan tarian Barongsai. Bukan hanya mendatangkan hal-hal yang baik, tetapi juga sekaligus mengusir energi dari para roh jahat.
Tidak sampai di situ saja. Para pencipta legenda "Singa" juga menciptakan keluarga Barongsai. Setidaknya ada lima warna berbeda yang mengandung makna filosofis berbeda.
Warna Merah. Mengandung unsur Api dan melambangkan arah Selatan.
Warna ini adalah yang paling umum dijumpai pada saat perayaan imlek. Selain karena memang merah identik dengan imlek, Barongsai Merah juga melambangkan keberanian dan keberuntungan.
Warna Kuning. Melambangkan pusat bumi yang berunsur Tanah.
Dalam tarian Barongsai, kehadiran Barongsai Kuning diyakini berguna untuk membawa perasaan suka cita dan ketulusan hati.
Warna Putih. Melambangkan arah Barat dan mewakili unsur Logam.
Dalam legenda, Barongsai putih disebutkan sebagai saudara tertua. Ia merupakan jenis yang paling awal dari seluruh keluarga Barongsai. Tidaklah heran jika harapan usia panjang dan kesehatan terkandung padanya.
Warna Hijau. Menandakan arah Timur dan mewakili unsur Kayu.
Dalam filosofinya, warna hijau diartikan sebagai persahabatan sejati. Jenis ini jarang digunakan dalam perayaan imlek, tetapi lebih lazim dijumpai pada perayaan yang bersifat pertemuan. Seperti peyambutan tamu atau dalam pesta pernikahan.
Warna Hitam. Mewakili unsur Air dan melambangkan arah Utara.
Dari seluruh keluarga Barongsai, si Hitam ini adalah yang paling bungsu. Dalam pertunjukan Barongsai, si Hitam ini biasanya dipentaskan dengan gerakan yang lebih lincah dan agresif dibandingkan saudara-saudara lainnya. Ia juga mewakili unsur kesuburan, pengetahuan, dan harapan yang tinggi.
Uniknya, dalam beberapa kesempatan, si Hitam ini juga seringkali digunakan sebagai tolak bala untuk mengusir kekuatan roh jahat. Para pendeta Tao yang ingin membersihkan tempat yang dipenuhi kekuatan iblis, biasanya meminta bantuan dari si Barongsai Hitam untuk melaksanakan tugasnya.
Tarian Barongsai tidak terjadi begitu saja. Seperti yang sudah saya sebutkan, bahwasanya nenek moyang orang Tionghoa sangat terkagum-kagum dengan kemunculan hewan Singa dari arah Barat.
Syahdan setelahnya banyak orang yang mempertunjukkan tarian dengan mengikuti gerakan singa. Sontak tarian tersebut menjadi populer dan digemari oleh banyak orang. Kejadian ini berlangsung pada abad ke-3 Sebelum Masehi dan menjadi asal muasal tarian Barongsai yang legendaris dan terus bermanifestasi hingga menjadi tarian modern seperti yang kita kenal di masa kini.
Menarik bukan? Akan tetapi, saya masih bingung dengan jenis Barongsai yang berbeda dari biasanya. Modelnya terlihat seperti anjing karena kostumnya yang menyatu. Bulunya lebih lebat, didominasi oleh warna kuning dan merah. Gerakannya juga tidak selincah Barongsai biasa. Tidak melompat kiri-kanan, atau memanjat tiang tinggi untuk meraih angpao.
Jenis ini lebih sering terlihat bermain akrobat, seperti berjalan di atas bola besar atau pada seutas tambang. Ia juga sering terlihat bermain bersama pasangannya yang berkostum pendekar dan melakukan gerakan atraksi Wu-shu. Biasanya pasangan mereka itu juga memegang bola atau kipas untuk membimbing si Barongsai.
Nah, ternyata di negara asalnya jenis Barongsai ini disebutkan sebagai aliran Klan Utara. Dan di Indonesia, disebut sebagai Pekingsai. Sementara Barongsai yang kita kenal adalah aliran Klan Selatan.
Perbedaan lainnya lagi adalah jenis Pekingsai biasanya dipertunjukkan untuk keluarga kerajaan atau bangsawan. Sementara Barongsai lebih diperuntukkan sebagai tontonan rakyat jelata.
Demikianlah serba-serbi menarik dari Barongsai beserta warna-warninya yang (mungkin) belum banyak dipahami.
Semoga Bermanfaat.
Â
**
Acek Rudy for Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H