PINTU depan sebuah rumah sudah ramai dipenuhi massa. Mobil polisi berada di jalan bercampur dengan masyarakat sekitar dan juga tak ketinggalan para pemburu berita.
Seorang lelaki memarkir mobilnya agak jauh dari sana. Tampangnya bersungut-sungut saat ia menyulut sebatang rokok putih dengan korek api gas yang ia raih dari sakunya. Ia berjalan cukup jauh sambil mengamati daerah sekitarnya. Daerah elit, rumah-rumah mewah di bilangan Jakarta Selatan. Siapa pun yang melakukan aksi pembunuhan itu adalah orang bodoh. Rumah-rumah di kawasan tersebut adalah milik orang-orang yang mempunyai kekuasaan. Jika alibinya bukan karena dendam, perampokan bukanlah motif yang tepat.
Fery Widyatmoko. Orang-orang dekatnya memanggilnya dengan EfWe, singkatan dari namanya yang ia rasa kepanjangan. EfWe adalah seorang penyidik senior di Bareskrim Polri, pangkatnya Kompol. Terlepas dari pembawaannya yang sangar, EfWe adalah seorang yang sangat rasional. Baginya keadilan bukan persoalan pemerataan kualitatif maupun kuantitatif, tetapi sesuatu yang adaptif. Sesuatu yang bisa berubah sesuai dengan kondisi atau keadaan. Dalam pemahamannya; Apa yang tak tampak belum tentu tidak ada, dan apa yang terlihat belum tentu ada.
Sudah lebih dari satu dasawarsa ia berada di kesatuannya. Dan sudah lebih dari 10 tahun juga ia menorehkan prestasi membanggakan. Khususnya dalam penyelesaian kasus-kasus kriminal yang pelik.
Sebagaimana kasus yang barusan akan ia hadapi.
Sejam yang lalu, EfWe baru saja menerima telpon dari bawahannya; Seorang pengusaha ditemukan meninggal di kamar tidur di dalam rumahnya. Indikasi awal tidak menunjukkan tanda-tanda penerobosan ke dalam rumah secara paksa ataupun aksi pembunuhan yang terencana. Dengan kata lain, dugaan sementara menyatakan bahwa lelaki itu bunuh diri.
Tapi, dengan cara yang tidak biasa. Dengan cara yang mengerikan.
"Sudah sampai dimana, Jo?" Kompol EfWe bertanya kepada seorang penyidik junior yang berjaga di pintu depan.
"Belum ada tanda-tanda yang berarti, Pak," jawab orang yang dipanggil 'Jo' tadi. "Sementara ini bagian forensik sedang bekerja mengambil contoh jaringan yang tersisa di atas tempat tidur korban.
"Jaringan? Yang tersisa?" EfWe mengernyitkan dahinya.
"Siap. Sebaiknya bapak mengecek sendiri keadaan korban, Pak," imbuh Jo lagi.
Diliputi rasa penasaran, EfWe ingin buru-buru melihat kondisi korban. Apa yang ia dengarkan tadi terkesan janggal. Akan tetapi, naluri investigasinya berkata lain. Ia harus memulai penyelidikan sedari awal, tidak boleh tergesa-gesa. Itulah mengapa ia memasang mata, panca indera, dan juga naluri saat pertama kali memasuki rumah mewah itu.
Ia melihat ke sekelilingnya. Pandangan matanya tertuju kepada seorang wanita cantik, usianya sekitar 40 tahun dan sedang duduk di sofa. Si wanita menangis tersedu-sedu, ditemani oleh seorang anak gadis yang diperkirakan berusia sekitar 16 tahun. Di meja makan, terlihat tiga orang asisten rumah tangga duduk berdampingan. Seorang penyidik wanita sedang berbincang dengan ketiganya. Dan di sudut ruang lain, seorang lelaki paruh baya juga sedang memberikan keterangan kepada seorang penyidik. EfWe memperkirakannya sebagai supir atau tukang kebun rumah mewah itu.
EfWe urung menanyakan perkembangan hasil investigasi terhadap saksi-saksi kepada para anak buahnya. Ia ingin menguji nalurinya, mengetes kemampuan detektifnya terlebih dahulu. Sekali lagi ia melihat ke sekelilingnya, tetapi tidak ada hal-hal yang mencurigakan. Tidak ada tanda-tanda perkelahian. Tidak ada pula tanda-tanda pengrusakan, atau sesuatu yang menarik perhatiannya. Semua perabot masih berada pada tempatnya dan tidak ada yang rusak.
"Dimana letak korban?" EfWe bertanya lagi kepada si penyidik junior yang sedari tadi berjalan di sampingnya.
"Siap, Pak." Si polisi muda itu berjalan menuju sebuah kamar yang terletak di sebelah barat rumah itu. Pintunya terbuka dan dari luar EfWe bisa melihat seorang rekannya sedang sibuk mengambil gambar dari kamera.
EfWe membuka pintu itu lebih lebar lagi. Ia mencari-cari sosok korban yang dimaksud. Akan tetapi, ia tidak bisa menemukannya.
"Di mana mayatnya?" ia bertanya kepada si juru kamera. Rekannya itu tidak menjawab, ia hanya menunjukkan ekspresi yang tidak biasa. Sedikit kebingungan, lebih banyak kengerian. Ia menunjuk ke arah tempat tidur. Dan sekali lagi, Kompol EfWe tidak melihat sosok mayat di sana. Di atas dipan hanya terlihat ceceran darah segar bercampur remahan-remahan kasar. Di tengah-tengahnya, terletak sebuah lembaran dengan tulisan berwarna merah yang cukup mencolok mata. Sebuah kode, sebuah simbol, atau sebuah oretan. EfWe masih belum tahu apa itu, kecuali tulisan yang ia tahu berupa angka.
Angka: 16/7. Â
"Ada apa ini?" EfWe bertanya heran.
"Mayat korban, pak!" jawab si juru kamera.
"Maksud kamu?"
"Tadi waktu saya datang, bentuk tubuh masih terlihat, meskipun tidak utuh. Saya ada fotonya. Pak." Jawab si juru foto sambil mengotak-atik kamera digitalnya.
EfWe melihat dengan seksama. Sekali lagi, ia mengernyitkan alisnya. Namun, kali ini berbeda. Ada mimik kengerian terpancar dari wajahnya yang mulai berkeriput. Bagaimana tidak. Apa yang terlihat di foto sama sekali tidak mirip dengan apa yang tersaji di hadapannya.
Di foto itu, masih ada tangan, kaki, bagian tubuh lainnya, dan juga wajah. Meskipun sudah mulai rusak. Sementara yang tersaji di hadapannya hanyalah ceceran darah dan sisa-sisa material kasar.
Sisa-sisa kasar dari bagian tubuh yang tidak lagi berbentuk.
"Bagaimana mungkin?" EfWe masih belum percaya apa yang sedang ia hadapi.
"Sepertinya, sesuatu di dalam tubuh korban menggerogoti daging, tulang, hingga ke kulit-kulitnya, Pak."Â
Kini EfWe tahu apa arti ekspresi kengerian dari rekannya itu. Sekali lagi ia memandang ke arah tempat tidur dan juga gambar hasil kamera. Ia terdiam cukup lama sebelum kembali bersuara.
"Kamu sudah menghubungi P2P? Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular?" EfWe bertanya lagi.
"Siap, belum Pak."
"GOBLOK KAMU! Segera hubungi!"
Nyali EfWe ciut seketika. Buru-buru ia menutup hidung dan mulutnya dengan tangannya. Untuk sesaat ia menyesal tidak mengenakan masker. Kendati demikian, ia enggan untuk segera keluar dari kamar itu. Naluri detektifnya mengalahkan ketakutannya terhadap risiko yang harus ia hadapi.
EfWe berjalan mendekati tempat tidur. Kini perhatiannya tertuju kepada sebuah lembaran dengan tulisan berwarna merah. Lembaran dengan tulisan: 16/7.
 "Setan jenis apa ini?" Ia membatin. Angka tersebut seperti tulisan tangan manusia. EfWe memperhatikannya lagi dengan seksama, matanya terbelalak, jantungnya berdegup kencang. Lembaran itu merupakan lembaran kulit yang tersisa.
Satu-satunya bagian tubuh yang tersisa.
"Jangan biarkan ada wartawan yang masuk. Saya minta semua unit bungkam sampai bagian forensik membuat kesimpulan dan unit P2P menyatakan kesimpulan." EfWe memberikan perintah kepada anak buahnya.
"Untuk sementara, semuanya harus bungkam atas informasi kematian Dauh Sidayat." []
**
Acek Rudy for Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H