Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Murphy's Law, Kutukan Atas Kesalahan Umat Manusia

18 Desember 2022   18:00 Diperbarui: 18 Desember 2022   18:07 10903
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya masih ingat di zaman kuliah dulu. Menjadi mahasiswa internasional di negeri yang masih asing, tentu tidaklah mudah. Doa saja tidak cukup, perlu juga dorongan semangat yang terinspirasi dari dunia nyata.

Akhirnya pilihan saya jatuh kepada Murphy's Law. Sebuah poster film, lengkap dengan foto si aktor yang memegang pistol. Film yang diproduksi pada 1986 silam. Saat itu, yang terbersit hanyalah tentang perjuangan tanpa henti membela kebenaran dari si Jack Murphy (Charles Bronson). Cocoklah!

Bertahun-tahun setelahnya, saya baru mengetahui jika Murphy's Law ternyata punya makna tersendiri. Tidak cocok dijadikan jimat dalam perjuangan. Menurut saya, bahka lebih parah lagi. Itu adalah sebuah kutukan!

Murphy's Law dipopulerkan oleh seorang perwira Angkatan Darat AS yang bernama Edward Murphy. Saat itu ia sedang bertugas melakukan penelitian dampak efek benturan terhadap tubuh manusia.

Setelah si Murphy ini melihat hasil penelitiannya, ia bercelutuk, "If anything can go wrong, it will." (Terjemahan bebas: Jika sesuatu berpotensi salah, maka kesalahan itu akan terjadi).

Meskipun adagium ini berembel-embel "Law" (Hukum), namun ia tidak serupa dengan Hukum Newton, Hukum Archimedes, yang memerlukan pembuktian melalui perhitungan.

Tidak perlu juga menjadi saintis untuk membuktikan cara kerja Murphy's Law. Setiap dari kita pasti pernah mengalaminya. Lebih lanjut lagi, Murphy's Law disebutkan memiliki unsur kebenaran yang luas, mencakup segala aspek kehidupan sehari-hari.

Kenapa demikian? Karena pernyataan sederhana ini tidak berfokus kepada kebenaran. Sebaliknya, ia mengulik kesalahan-kesalahan manusia. Dan perlu dipahami, kesalahan itu bagaikan Voldomore, musuh Harry Porter yang namanya tidak bisa disebutkan.

Karena, sedikit saja fokus kita sudah beralih kepada kesalahan, maka kesalahan demi kesalahan akan datang menghampiri. Mau tahu contohnya? Ada beberapa.

(1)

Katakanlah pagi ini langit gelap. Lalu Anda mulai menyiapkan payung untuk perjalanan. Hingga sore hari, sampai seluruh aktivitas Anda selesai, hujan tak kunjung datang. Syahdan, si payung dibawa kemana-mana sebagai hiasan. Anda mulai menyadari kesalahan.

Di lain kesempatan, langit cerah tak berbekas. Payung bukanlah sesuatu yang penting. Akan tetapi, baru setengah perjalanan, hujan turun tanpa permisi. Perjalanan terhalang, Anda terjerembab dalam penyesalan.

Kedua contoh di atas memberikan gambaran bagaimana Murphys' Law bisa mempermainkan kehidupan kita. Jika sedari awal kita sudah menyadari adanya potensi kesalahan, maka kesalahan itu akan muncul.

(2)

Saya teringat pernyataan seorang sahabat. Kebetulan, ia adalah jenis perfeksionis akut. Sangat menjaga nama baiknya. Selalu ingin tampil sempurna, tanpa kesalahan.

Hingga suatu hari ia protes, "bagaimana pun baiknya diriku bersikap, selalu saja ada yang salah menurut orang."

Saya membalasnya, "kamu akan selalu tampil salah."

"Mengapa?"

"Alasannya sederhana, kesalahanmu lebih mudah terlihat daripada kebaikanmu."

Awalnya ia tidak terima. Lalu kemudian tersadar dengan pernyataan pamungkasku berikut ini, "Untuk menjadi sempurna, kamu pun membandingkan kebaikanmu dengan keburukan orang lain. Bukankah demikian?"

"Begitu pula orang lain dalam menilaimu."

Lihatlah. Bahkan jika Anda berpikir tentang kesalahan apa yang tidak seharusnya diperbuat, maka kesalahan itu akan muncul. Bahkan, semakin Anda takut pada kesalahan, semakin mungkin kesalahan yang sama akan muncul.

(3)

Ada sebuah kisah nyata yang saya kutip dari Wikipedia.  Pada 2009 silam, Perdana Menteri Inggris saat itu, Gordon Brown menulis sebuah surat belasungkawa kepada sebuah keluarga yang anaknya gugur di Afghanistan.

Namun, ada sebuah kesalahan kecil dalam surat tersebut. Gordon salah menuliskan nama marganya. Lantas tabloid The Sun menerbitkan sebuah artikel kritik atas kecerobohan sang Perdana Menteri yang melakukan kesalahan. Sayangnya, dalam artikel pedas itu, The Sun pun salah menulis marganya juga. Alhasil, tabloid besar itu terpaksa mengeluarkan surat permintaan maaf.

**

Jadi memang benar, sebuah kesalahan hanya akan melahirkan kesalahan lainnya. Tidak heran jika kesalahan itu menular. Dan yang lebih berbahaya lagi, kesalahan itu akan selalu muncul, bahkan jika Anda berusaha untuk mencegahnya.

Saya tidak melebih-lebihkan pernyataan bahwa Murphy's Law layaknya sebuah kutukan bagi umat manusia. Ia akan selalu ada dalam hidup ini dan menghantui semua orang.

Tidak sepatutnya benar juga sih.

Untuk membuktikannya, marilah kita kembali kepada kasus (1). Dalam hal tersebut, Murphy's Law tidak akan bermanifestasi jika ada salah satu dari tiga kondisi ini terjadi;

Pertama. Anda membawa payung dan hujan turun.

Kedua. Anda tidak membawa payung dan cuaca cerah.

Ketiga. Anda tidak peduli, apakah cuaca akan gelap atau terang. Anda tidak akan kebingungan untuk membawa payung atau tidak. Dengan menghadapi kenyataa dan tidak menyesalinya maka Murphy's Law tidak akan menghantuimu.

Abaikan kasus pertama dan kedua, karena itu memerlukan keberuntungan. Tidak membawa payung di saat tepat, dan membawa payung saat dibutuhkan, bukanlah solusi untuk mencegah kutukan Murphy's Law.

Mari kita berfokus kepada skenario ketiga saja. Murphy's Law tidak akan menjadi kutukan bilamana;

Tidak melihat kesalahan masa lalu sebagai sebuah hal yang perlu disesali.

Tidak khwatir akan masa depan yang belum tentu terjadi.

Tidak melakukan perbandingan diri dengan orang lain.

Dan yang terpenting adalah:

Selalu sadar setiap saat bahwa hidup adalah pada saat ini. Tidak perlu kembali ke masa lalu atau berkelana ke masa depan.

Bentuk persepsi bahwa segala kejadian sebagaimana apa adanya. Tidak terjebak oleh asumsi yang belum tentu benar atau salah.

Hadapi kenyataan, bukan mengabaikannya. Dan kenyataan itu adalah ketidakkekalan.

Dan selalu menerima kenyataan bahwa:

Bahwa baik dan buruk memiliki porsi yang sama besarnya di dunia ini.

Bahwa benar atau salah adalah berbeda dalam setiap situasi.

Bahwa suka dan duka adalah fenomena yang datang silih berganti.

**

Saya jadi teringat sebuah pernyataan. Entah darimana, namun cocok untuk menggambarkan situasi ini. Tidak ada kebaikan jika manusia tidak menyadari keburukan. Dan untuk menjadi baik, maka keburukan harus diidentifikasi.

Murphy's Law akan selalu menjadi kutukan, hingga kita paham bahwa semesta adalah sebuah paket lengkap tentang kebaikan dan keburukan dalam satu genggaman.

**

Acek Rudy for Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun