Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Santet Shi Ngoi-pho, Penghancur Cincin Pengikat Janji Suci

8 Desember 2022   17:33 Diperbarui: 8 Desember 2022   17:39 956
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Apa yang mereka lakukan?" Megan bertanya kepada Tito, rekan kerjanya di sebuah perusahaan logistik yang berlokasi di Hong Kong. Malam itu, Tito sedang "bertugas" membawa Megan berjalan-jalan, menelusuri keramaian kota Mutiara dari Timur itu.

Sudah hampir sebulan Megan bertugas di Hong Kong. Tiga bulan sebelumnya, ia mendapatkan tawaran pindah kerja oleh perusahaannya di cabang luar negeri. Bertugas sebagai perwakilan kantor pusat Indonesia di negara bekas koloni Inggris ini.

Megan langsung mengiyakan tanpa berpikir. Selain karena ingin menambah pengalaman, Megan juga ingin merasakan kehidupan sebagai ekspat. Tidak ada beban juga yang perlu dipertimbangkan. Megan adalah anak bungsu di keluarganya. Kedua orangtuanya sudah lama tiada. Kakak-kakaknya sudah memiliki pekerjaan yang bagus di bidangnya masing-masing.

Dan yang terpenting, Megan masih menjomlo. Meskipun usianya sudah 28 tahun, wajah dan penampilan yang menarik, bukan alasan Megan tidak laku-laku. Ia hanya tidak ingin saja.

"Mereka disebut dengan Shi Ngoi-pho. Dalam bahasa Kanton, artinya empat nenek. Sudah lama mereka berada di sini. Mungkin sudah puluhan tahun di saat Kawasan Causeway Bay belumlah seramai sekarang," Tito menjelaskan.

"Lalu, apa yang mereka lakukan? Mengapa begitu banyak orang mengantri di sini?" Megan masih kurang paham.

"Nah, pekerjaan Shi Ngoi-pho adalah tukang santet..." Tito tersenyum lebar. Bagian yang paling ia sukai saat menjelaskan keberadaan keempat wanita legendaris Hong Kong tersebut kepada setiap tamunya.

"Haaaa.... Tukang Santet!? Hong Kong gini lho!!!" Megan setengah berteriak, matanya terbelalak.

Tito tersenyum puas, berhasil membuat tamunya terkejut.

"Iya, inilah fenomena di Hong Kong. Penduduk metropolis yang masih susah melepaskan keyakinan mistis kuno. Sesuatu yang tidak akan ditemui di tempat lain," Tito melanjutkan kisahnya.

"Lalu siapa yang mereka santet?" Megan kembali bertanya.

"Sudah kuduga engkau akan menanyakan itu. Ritual itu bernama da siu yun. Kalau diartikan dalam bahasa Indonesia, artinya cukup jelas, "menyantet musuh."

Dan kebetulan malam ini adalah festival Ulambana. Atau lebih dikenal dengan festival Hantu Kelaparan. Malam ini, diyakini banyak hantu-hantu kelaparan berkeliaran, sehingga Shi Ngoi-pho lebih mudah melaksanakan tugasnya.

"Apakah warga di sini masih percaya santet?" Megan lanjut bertanya, pikiran logisnya masih belum bekerja.

"Tidak juga. Penduduk Hong Kong tetap mempertahankan tradisi ini, tapi tujuannya sudah berbeda."

"Di zaman dulu, santet da siu yun memang digunakan oleh penduduk Hong Kong untuk menyantet musuh. Tapi, di zaman sekarang, dimana rasionalitas sudah bertumbuh pesat, warga Hong Kong menjadikan ritual ini sebagai ajang curhat." Tito bercerita dengan lancar.

"Coba lihat foto-foto yang mereka bawa. Kebanyakan adalah sosok publik. Seperti politikus-politikus yang dibenci, para pemangku jabatan, hingga bintang film Hollywood yang menjengkelkan," Tito melanjutkan tanpa bisa menahan tawanya.

Megan pun ikut tertawa. "Apakah ada efeknya?" ia bertanya.

"Sssttt... jangan bilang-bilang ya, tahun lalu saya juga menyantet seseorang. Seorang penyanyi lokal yang kubenci. Iseng aja, ikutan rame..." Tito melanjutkan ceritanya, tapi kali ini dengan mimik wajah yang lebih serius.

"Lalu... beberapa bulan setelahnya ia meninggal. Kecelakaan mobil di jalan raya Tsim Tsa Tsui. Ia mati terbakar!"

"Ha, serius loe, Tito." Megan masih belum bisa mencerna semua kisah yang diutarakan Tito. Otaknya serasa buntu untuk mencerna semuanya yang terasa tak masuk akal.

Akhirnya Megan memilih diam. Melihat dengan seksama seluruh aktivitas yang dilakukan oleh Shi Ngoi-pho. Secara bergiliran keempat wanita uzur ini melayani pelanggan. Ada yang bersembahyang, ada yang membakar foto, ada yang sibuk berbicara, dan ada yang sibuk menerima angpao.

Ada semacam altar yang lebih mirip meja tua. Di atasnya ada beberapa patung dewa. Salah satu yang menarik perhatian adalah patung yang mirip Kera Sakti yang melegenda. Menurut Tito, konon si Kera Sakti inilah yang bertugas mengirim santet kepada para klien Shi Ngoi-pho. Entahlah...

"Ayo cabut..." ajakan Tito membuyarkan lamunan Megan. Selangkah demi selangkah mereka berjalan meninggalkan kawasan Causeway Bay yang penuh sesak dengan manusia.

**

Keesokan harinya Megan kembali berkantor seperti biasa. Tapi, kali ini perasaannya benar-benar tidak enak. Awalnya dia berpikir akan memimpin divisi ekspor di perusahaannya. Tapi, kekecewaannya membuncah setelah bertemu dengan Alan. Seorang ekspat asal Indonesia. Ialah yang ditunjuk memimpin divisi Megan.

Kekesalan Megan semakin menjadi-jadi ketika si Alan menegurnya dengan keras. Hanya karena terlambat mengikuti rapat lima menit. Padahal ia sedang menerima telpon dari direktur di kantor pusat Jakarta. Syahdan hari itu adalah hari yang terburuk baginya.  

Untuk mengusir kepenatan, Megan kembali mengajak Tito makan malam. Sembari kembali ke altar Shi Ngoi-pho di Causeway Bay.

"Lu mau nyantet siapa? Tito bertanya sambil terbahak-bahak.

"Lha, lu kan bilang altar mereka hanya sebagai ajang curhat. Gua kesel nih, si Alan itu sok banget." Megan menimpali candaan Tito dengan serius.

"Hati-hati lho. Bisa beneran kejadian..." Tito kembali memperingati Megan dengan tawa khasnya yang lebih mirip candaan.

"Biarin aja... Pokoknya gua kesel." Megan tak mempedulikan peringatan rekan kerjanya itu.

**

Bulan demi bulan berlalu, kota Hong Kong masih seperti dulu. Bulan bersinar di langit yang cerah, suarnya masih kalah dengan terangnya cahaya kota.

Megan melanjutkan hidupnya di kota gemerlap ini, membawa cerita sepi sebagai seorang perantauan. Kesibukan di perusahaan tidak memberikannya banyak pilihan. Selain bekerja di kantor dan lanjut melepaskan penat di restoran dan klab malam. Besama kolega dan teman-teman, termasuk Alan yang menjengkelkan.

Bulan berganti bulan, tanpa Megan sadari, benih-benih cinta mulai bertumbuh. Alan yang menjengkelkan tidak seburuk yang dia bayangkan. Begitu pula dengan Alan. Sebagai sesama perantauan, ia menganggap Megan adalah teman dekatnya.

Bahkan lebih dari itu. Megan adalah sosok wanita yang Alan kagumi. Masa depan idaman yang akan setia menemani. Tiada lagi tempat untuk tambatan hati, kecuali melalui sebuah cincin berlian pengikat janji.

"Maukah engkau menikahiku, sayang?" Sebuah kata yang tidak pernah diharapkan Megan, keluar dari mulut sang lelaki idaman.

Air mata berlinang di pipi Megan. Perasaan terharu, gembira, dan kaget bercampur menjadi satu. Pasir pantai Hap Mun menjadi saksi cinta mereka berdua. Malam itu, bulan tersenyum ceria, mengiringi ciuman lembut Alan di bibir Megan.

Tapi, sesaat kemudian Alan meringis kesakitan. Wajahnya menghitam, matanya melotot, biji matanya terlihat mengerikan, hampir keluar dari kelopak matanya.

"Alannn... Alannnnnn, kenapa kamu? Jangan begitu, Alannnn!!!" Megan berteriak panik, tidak tahu harus melakukan apa.

Sedetik kemudian, cahaya merah muncul di sekujur wajah dan tubuh Alan.

"Panas... panasss.... Panasssss!!! Alan berteriak mengerikan. Dan blass... Alan terbakar. Oleh api yang berasal dari dalam tubuhnya. Megan ketakutan melihat Alan yang berlari-lari menuju laut. Tapi, air laut yang dingin pun tak kuasa menghentikan api neraka yang membakar sekujur tubuhnya.

Akhirnya Alan terjatuh dengan nyala api yang tak kunjung padam. Megan terpaku, ia tidak berani mendekat. Rasa kecewa dan putus asa kini menyelimuti asanya.

Hingga samar-samar ia melihat sosok keempat Shi Ngoi-pho yang berdiri di dekat tubuh Alan yang gosong. Tertawa mengerikan, menunjuk ke arah Megan.

**

Acek Rudy for Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun