**
Bulan demi bulan berlalu, kota Hong Kong masih seperti dulu. Bulan bersinar di langit yang cerah, suarnya masih kalah dengan terangnya cahaya kota.
Megan melanjutkan hidupnya di kota gemerlap ini, membawa cerita sepi sebagai seorang perantauan. Kesibukan di perusahaan tidak memberikannya banyak pilihan. Selain bekerja di kantor dan lanjut melepaskan penat di restoran dan klab malam. Besama kolega dan teman-teman, termasuk Alan yang menjengkelkan.
Bulan berganti bulan, tanpa Megan sadari, benih-benih cinta mulai bertumbuh. Alan yang menjengkelkan tidak seburuk yang dia bayangkan. Begitu pula dengan Alan. Sebagai sesama perantauan, ia menganggap Megan adalah teman dekatnya.
Bahkan lebih dari itu. Megan adalah sosok wanita yang Alan kagumi. Masa depan idaman yang akan setia menemani. Tiada lagi tempat untuk tambatan hati, kecuali melalui sebuah cincin berlian pengikat janji.
"Maukah engkau menikahiku, sayang?" Sebuah kata yang tidak pernah diharapkan Megan, keluar dari mulut sang lelaki idaman.
Air mata berlinang di pipi Megan. Perasaan terharu, gembira, dan kaget bercampur menjadi satu. Pasir pantai Hap Mun menjadi saksi cinta mereka berdua. Malam itu, bulan tersenyum ceria, mengiringi ciuman lembut Alan di bibir Megan.
Tapi, sesaat kemudian Alan meringis kesakitan. Wajahnya menghitam, matanya melotot, biji matanya terlihat mengerikan, hampir keluar dari kelopak matanya.
"Alannn... Alannnnnn, kenapa kamu? Jangan begitu, Alannnn!!!" Megan berteriak panik, tidak tahu harus melakukan apa.
Sedetik kemudian, cahaya merah muncul di sekujur wajah dan tubuh Alan.
"Panas... panasss.... Panasssss!!! Alan berteriak mengerikan. Dan blass... Alan terbakar. Oleh api yang berasal dari dalam tubuhnya. Megan ketakutan melihat Alan yang berlari-lari menuju laut. Tapi, air laut yang dingin pun tak kuasa menghentikan api neraka yang membakar sekujur tubuhnya.