Tapi, justru itulah yang disenangi oleh pasutri itu. Asri, tenang, jauh dari kesan hiruk pikuk seperti di rumah lama mereka.
**
Afung kena musibah. Ia tergoda untuk menggarap bisnis tambang dari seorang kawan yang sukses. Hampir semua modal usahanya dihabiskan untuk itu. Membayangkan cuan bermiliar-miliar, apa daya modalnya terkuras. Afung sampai susah membayar utang.
Akhirnya ia memutuskan untuk menjual tiga unit ruko tempat usahanya. Lebih baik kehilangan pekerjaan, daripada terus-terusan ditagih utang.
Lagipula masih ada tabungan, cukup untuk pensiun. Plus gaji Mei-ling sebagai direktur yang tergolong besar. Belum termasuk pembagian dividen tahunan yang luar biasa. Syahdan, Mei-ling pun menjadi tulang punggung keluarga.
Hari demi hari berlalu, Afung yang terbiasa sibuk, mulai bosan dengan statusnya sebagai pengangguran. Walaupun Mei-ling mengajaknya masuk ke perusahaannya, Afung tidak mau. Ia tidak mau jadi bawahan istrinya.
Afung juga bukannya bersyukur kepada Mei-ling yang masih bekerja, ia malah selalu cemburu dengan status perlente istrinya. Direktur Utama perusahaan besar yang memimpin ratusan karyawan.
Tapi, Afung punya alasan. Kecemburuannya berdasar. Seorang manajer di kantornya terlalu sering menghubungi Mei-ling. Alex, sarjana S2 lulusan luar negeri. Gagah, atletis, dan berprestasi.
Mei-ling pernah mengaku jika ia tidak bisa bekerja tanpa Alex. Secara professional, Alex adalah tangan kanan Mei-ling yang mengeksekusi semua idenya.
Tidak heran jika mereka berdua terbiasa mengobrol hingga tengah malam. Tak jarang juga Mei-ling tertawa terbahak-bahak. Di mata Afung, sikap istrinya itu tiada bedanya dengan seorang gadis yang sedang dimabuk asmara.
Mei-ling juga tidak segan-segan meminta izin kepada suaminya, untuk pergi bersama Alex menemui pelanggan atau supplier luar negeri. Bagi Mei-ling, hubungannya dengan Alex murni profesional. Tapi, bagi Afung itu hanya alasan saja. Ditambah lagi dengan perasaan bosan yang membuncah, Afung semakin sering mencari masalah dengan Mei-ling.