Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kemewahan Hidup Tanpa Internet di Zaman Bapakmu

30 November 2022   12:55 Diperbarui: 30 November 2022   13:02 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kemewahan Hidup Tanpa Internet di Zaman Bapakmu (gambar:blog.eero.com)

Dalam sebuah perjalanan darat menuju luar kota, saya berbincang dengan shohibku. Ia tampak sibuk dengan gawainya, sehingga percakapan kita beberapa kali tertunda.

Saya bisa memahami, sebabnya ia sudah minta izin dulu. "Kalau saya tidak menghubungi mereka, urusan tidak selesai." Alasan yang bagus, jadi saya memilih diam saja.

Lalu, pikiran ini kembali ke masa lalu. Pada saat usiaku masih seumur shohibku itu. Persisnya awal 90an. Tidak ada hape! Itu yang pertama kali terlintas.

Saya membandingkan dengan perjalananku ke Jakarta yang pada saat itu cukup sering. Apa yang kulakukan? Kok bisa ya semua urusan beres, tanpa harus ada pesan "otw" di gawai.

Jadi, memang setiap zaman dibentuk dengan masanya sendiri. Apa yang sekarang kita anggap sebagai keterbatasan, di zaman dulu adalah kemewahan. Ya, tentu. Memiliki pager adalah kemewahan, Memiliki mesin facsimile adalah kemewahan. Bahkan telpon rumah pun juga kemewahan.

Jadilah saya tidak takut berangkat ke Jakarta dengan segala "kemewahan" tersebut.

Langkah pertama yang kulakukan adalah menyusun agenda. Siapa yang akan saya temui, jam berapa, dan lokasi di mana. Sehari atau dua hari sebelumnya, saya masih menelpon mereka. Megingatkan saja jika ada appointment yang sudah dibuat.

Jika sifatnya resmi, maka mesin facsimile akan sangat berguna. Tidak lupa juga menyertakan skedul dan nomor penerbangan yang akan digunakan. Untuk dikabarkan kepada teman yang mengatur penjemputan.

Setibanya di bandara, saya langsung menuju ke lokasi kedatangan. Teman yang menjemput sudah ada di sana, tersenyum sumrigah. Urusan beres.

Tapi, kalaupun ia belum hadir, tidak perlulah saya panik. Cukup duduk di kursi, tidak beranjak, dan tak lupa juga mata mengawasi. Untuk urusan yang satu ini, tentulah mudah. Karena internet belum lahir, jadi perhatian tidak akan terganggu.  

Kami berjalan bersama ke tempat parkir. Pembicaraan dimulai dengan obrolan ringan. Biasanya untuk beberapa saat, lalu masuk ke soal pekerjaan. Apa saja agendanya, dan siapa saja yang sudah menunggu. Atau apakah ada perubahan jadwal atau tempat.

Sepanjang perjalanan, perbincangan benar-benar berkualitas. Baik tentang pekerjaan atau urusan yang belum beres. Termasuk juga langkah apa yang harus ditempuh, seandainya ada yang tidak sesuai harapan.

Sekali lagi, benar-benar berkualitas, karena percakapan tidak terganggu dengan bunyi aplikasi media sosial.

Sesampainya di tempat persinggahan pertama, telpon menjadi kewajiban utama. Mengabari istri atau keluarga, bahwasanya saya sudah tiba dengan selamat. Itu lebih dari cukup, tidak perlu tahu lagi sedang dimana, sedang bikin apa, sedang bersama siapa. Kejujuran pada saat itu bukanlah barang langka.

Durasi pekerjaan di tempat pertama, sudah ditentukan. Jika hanya dua jam saja maka begitulah seharusnya. Memperhitungkan apa yang perlu didiskusikan plus kemacetan di jalan.

Apakah bisa? Selama itu selalu aman saja. Menurut saya, itu karena tidak ada gawai yang diperlukan, hanya untuk melihat status di lini masa.

Jika ada kelanjutan pertemuan setelah itu, segeralah dibicarakan. Apakah makan malam bersama, atau kelanjutan rapat untuk keesokan harinya. Mudah, bukan?

Selanjutnya adalah berpindah tempat ke jadwal berikutnya. Sebelum memanggil taksi, menelpon dulu ke pemilik janji. Memastikan jika saya berangkat dalam waktu 10 menit dari daerah sini ke arah situ. Perkiraan waktu sudah bisa direka. Sesampainya di sana, pertemuan berjalan lancar.

Saya tersenyum, Sepintas lalu membayangkan betapa hebatnya orang zaman dulu. Tidak akan hilang meskipun tidak bergawai.

Tapi, memang zaman sudah berubah. Hidup sudah menjadi tidak masuk akal tanpa gawai pintar di sisimu. Perkembangan teknologi membuat segala sesuatu menjadi mudah. Banyak hal yang didapatkan dengan sentuhan jari.

Saya lalu membuat daftar kecil di pikiranku. Apa saja kemewahan yang kudapat saat ini yang belum dimiliki oleh diriku tiga dasawarsa lalu?

Banyak...

Saya bisa menelpon staf di kantor, tanpa harus capek mecari telpon umum. Saya bisa mengupdate berita terkini, tanpa perlu membeli koran. Saya bisa mengabarkan keberadaanku dimana saja, kapan saja, cukup dengan mengetik "otw."

Di waktu senggang, saya bahkan boleh berselancar menyapa teman-teman yang sedang berada di Singapura. Saya bahkan bisa bercengkrama dengan teman-teman sekolah, tanpa harus menunggu reuni.

Jadi, memang zaman telah berubah. Keberadaan gawai pintar adalah bagian dari kehidupan sosial. Itu adalah kemewahan, kenapa harus ditolak?

Lamunanku buyar saat diriku baru sadar, percakapan dengan si shohib belum juga selesai. Saya melirik ke samping. Pandangan matanya masih tertuju pada gawai. Tampilan Instagram berada di sana, wajahnya tersenyum kecil. Menanda betapa bahagianya dirinya. Sebahagia 210 juta pengguna internet di Indonesia. Selama (rata-rata) 8 jam 36 menit per hari.

Pada saat itulah, aku baru sadar. Perkembangan teknologi telah memberikan kemewahan baru, tetapi pada saat yang sama, ia juga melenyapkan kemuliaan yang lama. Interaksi antar manusia yang dulunya begitu elok terasa, kini sudah menjadi barang langka.

Kami pun tiba sampai di tujuan...

Menunggu sekitar 30 menit di lokasi. Tanpa kepastian, namun tetap penuh harapan dan kepercayaan atas sebuah pesan yang masuk. "Saya lagi Otw..."

**

Acek Rudy for Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun