Ah, sehari sebelumnya saya barusan mendapat surat cinta dari Kompasianer senior Ikhwanul Halim. Artikelnya berjudul "Om Acek Rudy, Menulis Fiksi itu Gampang, Kok."Â (Sila klik di sini)
Beliau juga setuju, kalau latihan demi latihan itu perlu. Bener banget sih. Kalau gak mulai kapan cerdasnya, kalau gak praktik kapan cadasnya. Kalau tidak menyelesaikan tulisan, kapan puasnya. Madre, kuberseru!
"Kejarlah tamat sebanyak mungkin."Â ~ Dee Lestari
Wow... Sekali lagi. Dee, you are so amazing. Gue merasa kayak pendekar Bukek Siansu yang naik ke gunung dan belajar dari guru sakti. Turun-turun sudah berubah pasti. Sebagaimana si Ping yang bertransformasi menjadi Rapijali.
Oke, Dave. Jadi elo sudah tahu kan kenapa Acek sibuk melototin Dee. Bukan teorinya yang kupelajari, tetapi isi otaknya, cara berpikirnya, dan tutur katanya yang mengalir lembut. Persis bagaikan seuntai Filosofi Kopi yang selalu enak dinikmati.
Akhir kata, Acek puas dah... Puas banget.
Bisa ngehost The One and Only Dee Lestari. Bisa bersua dengan teman-teman Kompasianer. Meskipun baru secara daring, ntar juga akan ketemu luring. Melihat wajah-wajah yang muncul di layar. Senang rasanya.
Menyatukan koneksi dan memori. Wajah yang terpampang melengkapi persahabatan dengan yang sudah lama dikenang. Kompasianer, Anda semua hebat-hebat. Sebagaimana yang dikatakan;
"Di sanalah misteri cinta, bukan? Ketika hati dapat menjangkau kualitas-kualitas yang tidak tertangkap mata."Â ~ Dee Lestari (Supernova).
Thank you Dee... Firasat ku berkata, ini bukan hanya sesuatu Antara Kita, bukan Kali Kedua, bukan juga Awal Mula. Tapi, lebih luas lagi. Semua terangkum dalam Dongeng Secangkir Kopi.
Tamat sudah kukejar. Dee!
**
Acek Rudy for Kompasiana