Mau tahu apa keuntungan jadi host Dee Lestari? Yang pasti bukan numpang tenar. Wong, peserta webinar bersama Dee Lestar, Senin 21.11.2022 kemarin, Kners temanku semua. Sudah setiap hari bercanda di grup perpesanan, boroknya sudah semua kelihatan.
Keuntungannya karena aku tidak perlu menggubris recokan si Kompasianer David Abdullah. Ia merengek, minta tulisan rangkuman acara kemaren. "Aih, Dave. Acek sibuk memandang wajah Dee."
Si jomlo yang sudah sering kecewa ini tambah kecewa. Tapi, ia tidak paham. Itulah tugas seorang moderator, mengimbangi narasumber, mengisi jeda, menjaga agar suasana webinar tidak kaku.
Bukan hanya wajah, tetapi apa yang sedang dibicarakan. Termasuk signal, kapan saatnya aku "masuk". Itu belum termasuk menjaga ekspresi yang harus "senada" dengan wajah glowing Dee Lestari.
Tujuannya biar acara malam itu tidak dikuasai oleh bunyi jangkrik.
Jadi, jangan harap orat-oretan Acek. Saya bukan peserta yang konsentrasi mencatat hingga pada akhirnya mengabaikan kamu, kamu, dan kamu.
Tapi, dari hasil membangun chemistry dengan Dee disitulah aku mendapatkan banyak keuntungan. Setiap kata-kalimat yang keluar dari mulut  si Dee, dengan cepat kuasosiasikan dengan diriku, kemampuan menulisku.
Hasilnya? "You are full of surprises." Kalimat ini meluncur setidaknya tiga kali selama acara berlangsung. Mewakili pengetahuan baru yang kudapat pada malam itu.
Menariknya, saya bukanlah fiksianer, sementara Dee adalah seorang penulis fiksi. Tapi, kita punya kesamaan. Dee menolak jika ia ditanya tentang genre tulisannya. Sementara saya lebih memilih aliran Palu Gada. Nulis saja apa yang ingin kutuliskan.
"Tulisan harus memikat dan mengikat," ~ Dee Lestari
Setuju banget, Dee! Memikat atensi pembaca, menempatkan diri kita sebagai pembaca. Mengikat mereka dengan luapan emosi yang sama. Sesuatu yang saya sebut dengan associated experience. Membangun empati berdasarkan unsur pengalaman hidup yang sama.
Untuk itu, tulisan populer seharusnya mengalir tanpa halangan. Bagaikan jalan tol, tidak seharusnya pembaca terdistraksi dengan hambatan. Dee menerjemahkannya sebagai amunisi.
"Setiap kata yang kita tulis adalah peluru yang dilesatkan. Jadilah sniper, efisien mengena di benak pembaca."Â ~ Dee Lestari
Dee menerjemahkannya dalam 4 kata: Efektif, Efisien, Sitematis, dan Komunikatif. Tidak lupa juga dua tambahan lainnya, melatih pikiran logis dan belajar membentuk pikiran imajinatif sebagai bagian dari manfaat menulis.
Ah, saya jadi ingat saran sahabat saya, kakak Ita Sembiring, penulis buku dan produser film. Konsepnya tentang Ekonomi Kata masih terngiang di benakku. Semoga suatu waktu Mettasik juga bisa mengundang beliau untuk acara selanjutnya. Doain ya...
"Beri perhatian pada halaman pertama, di paragraf pertama, dan pada kalimat pertama."Â ~ Dee Lestari
Malam sebelumnya, seorang kawan enggan mengikuti webinar. Menurutnya, ia adalah nonfiksianer sejati. Artikel serius selalu memenuhi lamannya. "Gak sama aliranku dengan Dee, Acek," pungkasnya
Rasanya sekarang dia akan menyesal. Sebabnya buat saya Dee ini adalah seorang philosopher. Makanya ia menolak disebut penganut paham literasi tertentu. Dee emang dilahirkan sebagai seorang Rectoverso.
Meskipun Dee juga mengaku jika artikel serius, bukanlah bidangnya. Akan tetapi... Kalau dipaksakan, Dee akan mengubahnya dengan menambah bumbu fiksi. Sesuatu yang ia namakan sebagai eksplorasi emosi dan merangkai bingkai dalam adegan. Menggabungkan riset, logika, dan khayalan.
"Alih-alih langsung masuk ke fakta dan data, kenapa tidak mulai dari sebuah kisah...?"Â ~ Dee Lestari
Si penulis yang mengaku nonfiksianer tidak perlu malu-malu terlihat lebai. Tunjukkan emosi.
Diriku belum bisa tidur nyenyak. Gigitan pada tangan masih membekas. Bayangan kelahan dan kekalahan belumlah lepas. Dua tembakan peluru merobek pertahanan. Aku menutup telinga, tak tahan mendengar sorakan. Timnas Argentina kalah 0-2 dari Saudi Arabia.
Apakah diriku berada di Qatar? Biarkan pembaca yang mengira-ngira. Tidak perlulah menulis disklaimer. "Lalu, idenya darimana, Acek?"
"Jangan mengejar ide, jadilah penulis yang suka dikejar ide."Â ~ Dee Lestari
Ide adalah bibit dari segala bibit literasi. Siapapun tak akan bisa menulis tanpanya. Persoalannya, manusia itu terbentuk dari karma masing-masing. Kita adalah Perahu Kertas yang menelusuri lautan luas. Unik adanya.
Nah, karma juga persoalan jodoh. Begitu pula ide tulisan. Kalian bisa menemukannya di mana saja. Naik-naik ke puncak gunung, turun-turun ke dasar lembah, atau ngupil-ngupil dalam sekali. Terserah elooo...
Saya berbincang dengan Dee, "ide itu bagaikan makhluk kecil berwarna kuning. Minnions namanya."
"Exactly, ide akan menghampiri mereka yang menghargainya."Â ~ Dee Lestari
Lantas bagaimana caranya berjodoh dengan ide. Ada tiga syarat utama; 1) Menjadi pengamat yang baik, 2) menjadi penabung yang rajin, dan 3) pencerita yang tekun.
Ah, jadinya teringat dengan ucapan Mbah Jalaluddin Rumi, bahwa semesta tidak berada di luar sana. It's inside you! Artinya semesta akan bertransformasi dalam bentuk pengamatan, kemudian diolah, dan diceritakan. I got it, Dee!
Terkait semesta yang berada di dalam diri kita, saya mengingat kembali pertanyaan sahabatku, Kompasianer Yose Revela.
"Apa yang membuat seorang penulis bisa dibilang mengalami 'kemajuan' sebagai seorang penulis?"
Jawaban Dee mengejutkan. Aku simpulkan dengan bahasaku sendiri, ya. "Setiap penulis bisa mengukur kemajuannya. Baik dari frekuensi, durasi, ataupun komentar dari pembaca. Namun, seyogyanya kita sudah punya standar mengenai kemajuan itu sendiri."
Nah... Tuh kan... Benar kan... Acek benar...
Si Dee ini adalah The Philosopher. Mbah Rumi sudah merasukinya. Dan aku juga setuju dengannya. Sebagai fans berat Buddha Gotama, Acek setuju banget. Hilangkan "AKU." Hilangkan "MAU." Yang tersisa hanya BAHAGIA. Ketemu deh...
Tapi, gua juga rada-rada kesel sama si Dee. Soalnya dia bilang kalau menulis itu mudah susah. Eh... Padahal sebagai penganut literasi paham garis keras, saya justru mau encourage para penulis pemula di grup untuk kejar setoran tayang.
Tapi, perasaan gondok itu dengan cepat berubah. Anicca namanya. Dee bilang susah kalau tidak memulainya dan tidak terus berlatih.
Dee juga bisa buktikan omongannya. Ada sesi 5 menit menulis bebas. Para peserta disuruh tulis apa saja. Tidak ada larangan tema, tidak ada batasan kata.
Kompasianer Teo Tarigan muncul sebagai juaranya. Dia disuruh baca oretannya. Hasilnya, 119 kata dalam 5 menit. Itung-itungan ya. Kalau sejam artinya sudah kurang lebih 2.400 kata. Iya kan, Malaikat Juga Tahu kalau menulis itu mudah.
Ah, sehari sebelumnya saya barusan mendapat surat cinta dari Kompasianer senior Ikhwanul Halim. Artikelnya berjudul "Om Acek Rudy, Menulis Fiksi itu Gampang, Kok."Â (Sila klik di sini)
Beliau juga setuju, kalau latihan demi latihan itu perlu. Bener banget sih. Kalau gak mulai kapan cerdasnya, kalau gak praktik kapan cadasnya. Kalau tidak menyelesaikan tulisan, kapan puasnya. Madre, kuberseru!
"Kejarlah tamat sebanyak mungkin."Â ~ Dee Lestari
Wow... Sekali lagi. Dee, you are so amazing. Gue merasa kayak pendekar Bukek Siansu yang naik ke gunung dan belajar dari guru sakti. Turun-turun sudah berubah pasti. Sebagaimana si Ping yang bertransformasi menjadi Rapijali.
Oke, Dave. Jadi elo sudah tahu kan kenapa Acek sibuk melototin Dee. Bukan teorinya yang kupelajari, tetapi isi otaknya, cara berpikirnya, dan tutur katanya yang mengalir lembut. Persis bagaikan seuntai Filosofi Kopi yang selalu enak dinikmati.
Akhir kata, Acek puas dah... Puas banget.
Bisa ngehost The One and Only Dee Lestari. Bisa bersua dengan teman-teman Kompasianer. Meskipun baru secara daring, ntar juga akan ketemu luring. Melihat wajah-wajah yang muncul di layar. Senang rasanya.
Menyatukan koneksi dan memori. Wajah yang terpampang melengkapi persahabatan dengan yang sudah lama dikenang. Kompasianer, Anda semua hebat-hebat. Sebagaimana yang dikatakan;
"Di sanalah misteri cinta, bukan? Ketika hati dapat menjangkau kualitas-kualitas yang tidak tertangkap mata."Â ~ Dee Lestari (Supernova).
Thank you Dee... Firasat ku berkata, ini bukan hanya sesuatu Antara Kita, bukan Kali Kedua, bukan juga Awal Mula. Tapi, lebih luas lagi. Semua terangkum dalam Dongeng Secangkir Kopi.
Tamat sudah kukejar. Dee!
**
Acek Rudy for Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H