Lantas bagaimana caranya berjodoh dengan ide. Ada tiga syarat utama; 1) Menjadi pengamat yang baik, 2) menjadi penabung yang rajin, dan 3) pencerita yang tekun.
Ah, jadinya teringat dengan ucapan Mbah Jalaluddin Rumi, bahwa semesta tidak berada di luar sana. It's inside you! Artinya semesta akan bertransformasi dalam bentuk pengamatan, kemudian diolah, dan diceritakan. I got it, Dee!
Terkait semesta yang berada di dalam diri kita, saya mengingat kembali pertanyaan sahabatku, Kompasianer Yose Revela.
"Apa yang membuat seorang penulis bisa dibilang mengalami 'kemajuan' sebagai seorang penulis?"
Jawaban Dee mengejutkan. Aku simpulkan dengan bahasaku sendiri, ya. "Setiap penulis bisa mengukur kemajuannya. Baik dari frekuensi, durasi, ataupun komentar dari pembaca. Namun, seyogyanya kita sudah punya standar mengenai kemajuan itu sendiri."
Nah... Tuh kan... Benar kan... Acek benar...
Si Dee ini adalah The Philosopher. Mbah Rumi sudah merasukinya. Dan aku juga setuju dengannya. Sebagai fans berat Buddha Gotama, Acek setuju banget. Hilangkan "AKU." Hilangkan "MAU." Yang tersisa hanya BAHAGIA. Ketemu deh...
Tapi, gua juga rada-rada kesel sama si Dee. Soalnya dia bilang kalau menulis itu mudah susah. Eh... Padahal sebagai penganut literasi paham garis keras, saya justru mau encourage para penulis pemula di grup untuk kejar setoran tayang.
Tapi, perasaan gondok itu dengan cepat berubah. Anicca namanya. Dee bilang susah kalau tidak memulainya dan tidak terus berlatih.
Dee juga bisa buktikan omongannya. Ada sesi 5 menit menulis bebas. Para peserta disuruh tulis apa saja. Tidak ada larangan tema, tidak ada batasan kata.
Kompasianer Teo Tarigan muncul sebagai juaranya. Dia disuruh baca oretannya. Hasilnya, 119 kata dalam 5 menit. Itung-itungan ya. Kalau sejam artinya sudah kurang lebih 2.400 kata. Iya kan, Malaikat Juga Tahu kalau menulis itu mudah.